apakabar.co.id, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pendidikan Jakarta dan Indonesia (KOPAJA) menggelar aksi jalan sehat di acara car free day (CFD), Jakarta, Minggu (7/7). Melalui jalan santai, KOPAJA mengajak warga meningkatkan kesadaran dan partisipasi agar terlibat aktif dalam advokasi pendidikan yang berkeadilan.
Juru Bicara KOPAJA Ubaid Matraji mengungkapkan aksi mereka juga mendorong pemerintah agar memenuhi amanah konstitusi dalam mewujudkan akses sekolah bebas biaya bagi semua. Pasalnya, sekolah bebas biaya merupakan mandat dari Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya.
“Amanah konstitusi ini, dipertegas lagi dalam Pasal 34 UU Sisdiknas, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan tanpa memungut biaya,” kata Ubaid, Minggu (7/7).
Nyatanya, ujar Ubaid, biaya sekolah di Indonesia hingga kini masih sangat membebani ekonomi masyarakat. Penyebab utama siswa putus sekolah atau anak tidak sekolah, didominasi oleh faktor ekonomi.
Data BPS (Susenas, 2021) juga memperlihatkan sebanyak 76% keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Dari angka tersebut, sebagian besar (67,0%) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya (8,7%) harus mencari nafkah.
Kenyataan ‘sekolah berbiaya’ ini juga tercermin dalam hasil penelitian Arus Survey Indonsia (ASI, 2023). Disebutkan ada tiga pokok persoalan yang dihadapi warga, yakni harga kebutuhan pokok yang mahal (23,4%), biaya pendidikan mahal (20,1%), dan susah mencari lapangan kerja (18,6%).
Menurut Ubaid, hal senada tercermin dari data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Hasil pemantauan dan pengaduan masyarakat, sejak Januari 2022-Juni 2024, terhimpun 1.479 kasus pendidikan yang berkaitan dengan beban biaya ekonomi keluarga. Kasus tertingi adalah ijazah ditahan sekolah karena belum melunasi tunggakan (41%).
“Penahanan ijazah ini tidak hanya terjadi di sekolah swasta, tapi juga banyak ditemukan di sekolah negeri,” katanya.
Berikutnya, kasus putus sekolah karena tak punya biaya sebanyak 27%, orang tua siswa terjerat pinjol untuk tutupi biaya sekolah (18%), tidak boleh ikut ujian karena belum bayar tagihan sekolah (9%), dan juga ditemukan kasus anak-anak yang jadi korban perundungan dan intimidasi di sekolah karena tidak membayar pungutan (5%).
“Kami menyesalkan ini semua masih terjadi di sekolah. Mestinya kan sekolah itu bebas biaya. Kenapa jadinya masih berbiaya dan mahal pula. Di sekolah negeri ada banyak pungutan liar. Sementara di sekolah swasta, tagihan bulanannya terus menteror orang tua murid,” papar Ubaid.
Demi mendorong pendidikan di Indonesia berkeadilan untuk semuanya, KOPAJA menyerukan agar pemerintah menuntaskan wajib belajar 12 tahun tanpa memungut biaya di sekolah negeri dan swasta.
“Ketika pemerintah sudah mencanangkan Wajar 12 Tahun, karena itu, sekolah bebas biaya tidak hanya sampai SMP (9 tahun), tapi hingga jenjang SMA/SMK (12 tahun),” katanya.
KOPAJA menyerukan agar anak-anak yang gagal PPDB 2024 harus diselamatkan, dengan menyediakan bangku di sekolah swasta tanpa dipungut biaya. Jika tidak ada upaya dari pemerintah, mereka terancam putus sekolah, karena terkendala mahalnya biaya di sekolah swasta.
“Bahkan, tak sedikit di antara mereka adalah anak-anak penerima KIP dan KJP yang gagal di berbagai jalur PPDB. Mereka itu potensial besar akan putus sekolah jika gagal masuk sekolah negeri,” katanya.
KOPAJA meminta pemerintah segera melibatkan sekolah swasta dan menghentikan sistem kompetisi rebutan kursi di PPDB. Semua anak punya hak yang sama, karena itu, pemerintah harus menjamin, semua anak kebagian bangku sekolah.
Menurut Ubaid, tidak boleh lagi ada istilah gagal PPDB, karena semua harus kebagian kursi. Jika daya tampung sekolah negeri minim, maka pemda wajib melibatkan sekolah swasta.
“Proses PPDB adalah pintu masuk anak untuk bisa sekolah. Kalau pintu masuknya saja sudah tidak berkeadilan, maka banyak anak terdiskriminasi,” tandasnya.