apakabar.co.id, JAKARTA – KPK memastikan akan menetapkan kembali mantan Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor sebagai tersangka dalam kasus suap proyek di Kalsel.
Meskipun putusan praperadilan membatalkan status tersangka Sahbirin, KPK menegaskan bahwa kronologi kasusnya tetap tidak berubah.
“Proses akan Kita lakukan kembali dengan perbaiki amar, artinya proses yang menurut amar putusan praperadilan itu disalahkan, kita perbaiki,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada media di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (19/11).
Ghufron menjelaskan pihaknya menghormati putusan majelis praperadilan yang melepas status tersangka terhadap Sahbirin dalam kasus dugaan suap tiga proyek di Kalsel.
Namun, kronologi kasus Sahbirin sebagai penerima suap tidak berubah.
“Putusan Praperadilan kemarin menggugurkan status tersangka Sahbirin tapi kronologi yang bersangkutan sebagai penerima suap tidak berubah,” ucap Ghufron.
Sementara itu Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan Sahbirin sudah dipanggil KPK, kemarin. Namun Sahbirin mangkir.
Karena itu, pihaknya bakal memanggil ulang Sahbirin sebelum melakukan penjemputan paksa.
“Tentunya dengan ketentuan perundang-undangan, sudah pertama dan panggilan kedua, kedua tidak hadir maka ketiga dengan upaya penjemputan,” ujar Tessa dikonfirmasi Selasa (19/11).
Tessa juga mengatakan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (19/11) juga memanggil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan Supian Haka (S) untuk diperiksa terkait penyidikan dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
“Pemeriksaan terhadap yang bersangkutan atas nama S dilakukan Gedung KPK Merah Putih,” kata Tessa.
Ketua DPRD supian Haka akan diperiksa penyidik sebagai saksi terkait perkara dugaan korupsi tersebut. Namun pihak KPK belum memberikan informasi lebih lanjut soal materi apa saja yang akan dikonfirmasi dalam pemeriksaan tersebut.
Diketahui Sebelumnya penyidik KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap enam orang terkait penyidikan dugaan korupsi suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Kalimantan Selatan pada Minggu (6/10) malam.
Enam orang yang terjaring operasi tangkap tangan tersebut adalah Kadis PUPR Kalimantan Selatan Ahmad Solhan (SOL), Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Kalimantan Selatan Yulianti Erlynah (YUL), Bendahara Rumah Tahfidz Darussalam Ahmad (AMD), dan Plt. Kabag Rumah Tangga Gubernur Kalimantan Selatan Agustya Febry Andrean (FEB).
Kemudian dua orang lainnya yang berasal dari pihak swasta yakni Sugeng Wahyudi (YUD) dan Andi Susanto (AND).
Pihak KPK kemudian langsung menetapkan status tersangka dan melakukan penahanan terhadap enam orang tersebut termasuk menetapkan Sahbirin Noor yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Selatan, Namun status tersangka Sahbirin Noor gugur setelah dirinya memenangkan gugatan praperadilan atas status tersangka dirinya yang ditetapkan KPk.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut penyidik KPK menyita uang tunai sebanyak Rp12.113.160.000 dan 500 dolar AS yang diduga sebagai uang suap.
Atas penerimaan suap tersebut, para tersangka kemudian melakukan rekayasa agar proses lelang dimenangkan oleh pihak yang memberikan fee.
Rekayasa tersebut dilakukan, antara lain dengan cara membocorkan harga perkiraan sendiri dan kualifikasi perusahaan yang disyaratkan pada lelang.
Kemudian merekayasa proses pemilihan e-katalog agar hanya perusahaan tertentu yang dapat melakukan penawaran, menunjuk konsultan yang terafiliasi dengan pemberi suap, dan pelaksanaan pekerjaan sudah dikerjakan lebih dulu sebelum tanda tangan kontrak.
Proyek yang menjadi objek perkara tersebut adalah pembangunan lapangan sepak bola di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalimantan Selatan senilai Rp23 miliar, pembangunan Gedung Samsat Terpadu senilai Rp22 miliar, dan pembangunan kolam renang di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalimantan Selatan dengan nilai Rp9 miliar.
Para tersangka yang berstatus penyelenggara negara dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan dua pihak swasta dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.