Mendaki Bukit Seberangi Sungai, Perjuangan Guru Arshad di Pedalaman Meratus

Sudah lima tahun terakhir Arshad mengajar di SD Aing Bantai. Butuh waktu dua hari lamanya untuk mencapai sekolah di pedalaman Meratus tersebut.

MUHAMMAD Arshad saat mengajar murid-muridnya di SD Aing Bantai (Filial), Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Foto: Antara

Butuh waktu berhari-hari Muhammad Arshad mencapai SD Aing Bantai, sebuah sekolah di pedalaman Meratus. Mendaki bukit, menyeberangi sungai hingga melewati belantara.

SUDAH lima tahun belakangan Arshad, 31 tahun, mengabadikan diri di SD Aing Bantai, sebuah sekolah di belantara pegunungan Meratus.

Untuk mencapai Desa Aing Bantai, Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) ini, Arshad menempuh perjalanan yang cukup panjang.

Dimulai dari menaiki sepeda motor selama 3 jam dari pusat Kabupaten HST, Barabai menuju desa terakhir yang bisa dijangkau kendaraan.

Setelah itu, ia menitipkan sepeda motornya di rumah warga dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jalur yang dilalui pun tidak mudah, ia harus mendaki bukit, menyeberangi sungai, dan melewati belantara.

Perjalanan biasanya memakan waktu sekitar 8-10 jam. Jika dihitung dari awal keberangkatan hingga tiba di lokasi, total waktu yang dibutuhkan biasanya mencapai dua hari.

“Kalau hujan lebat, kami sering harus berhenti di pinggir sungai, menunggu airnya surut, tapi sekarang beberapa jembatan gantung telah dibangun, sedikit mengurangi beban perjalanan,” ujar Pak Arshad kepada ANTARA, Sabtu (23/11).

Karena perjalanan menuju lokasi memakan waktu hingga 2 hari, Arshad memilih tinggal di desa tempat ia mengajar. Ia dan rekan-rekannya menjalankan tugas secara bergantian. Ketika satu guru pulang ke kota, guru lain berangkat untuk menggantikan.

Lama waktu tinggal di desa pun tidak menentu, tergantung pada kondisi fisik masing-masing. Namun biasanya sekitar 10 hari bahkan lebih.

Saat ini jumlah guru yang bertugas di sekolah tersebut hanya tiga orang. Itu seiring dengan semakin sedikitnya jumlah kelas yang ada. Untuk mendukung aktivitas mereka, para guru sering ditemani oleh petugas kesehatan dari puskesmas yang bertugas di wilayah tersebut. Oleh karena itu, perjalanan ke desa biasanya dilakukan secara bersama-sama demi keselamatan dan kenyamanan.

Tentu, keterbatasan sering kali menjadi sahabat tak terpisahkan dalam perjalanannya mendidik di kawasan tengah hutan seperti ini. Jangankan internet, listrik di desa saja hanya hidup pada malam hari, itu pun mengandalkan tenaga surya yang tidak selalu stabil.

Meski begitu, Guru Arshad tak jarang membawa video pembelajaran yang ia unduh di kota. Lalu menayangkannya dengan penuh semangat di hadapan anak-anak yang menatap layar dengan rasa ingin tahu yang begitu besar.

Dekatnya sekolah dengan alam membuat Pak Arshad menggunakan pendekatan unik, yaitu belajar langsung dari alam. Anak-anak diajak keluar kelas untuk memahami pelajaran secara praktis.

“Anak-anak di sini lebih paham kalau langsung dipraktikkan di lingkungan mereka,” ujarnya sambil tersenyum.

Dalam satu sesi pembelajaran, ia mengajak anak-anak melihat warna langit saat Matahari terbenam, lalu menjelaskan perubahan warna itu dengan bahasa yang sederhana.

Bukan hanya jarak yang menjadi tantangan, budaya asli masyarakat setempat pun sering kali menjadi tembok yang harus ia tembus dengan sabar. Sebagai masyarakat yang terbiasa hidup berpindah-pindah, banyak orang tua di desa ini memandang pendidikan sebagai sesuatu yang tidak perlu bahkan tidak penting.

“Misi utama kami di sini adalah memotivasi, bukan hanya anak-anak, melainkan juga orang tua mereka,” kata Pak Arshad.

Pak Arshad tak segan mengunjungi rumah-rumah untuk berbicara dengan orang tua, meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah investasi masa depan. Hasilnya pun mulai terlihat. Kini, makin banyak anak yang melanjutkan sekolah ke SMP dan bahkan SMA.

Namun, perjuangan itu tidak pernah berhenti di ruang kelas. Guru Arshad, bersama rekan-rekan guru lainnya, sering kali merogoh kocek pribadi untuk membeli buku tulis dan pena bagi murid-murid yang tidak mampu.

“Kalau ada rezeki lebih, kami belikan buku atau alat tulis,” ujarnya. Ia tidak pernah menganggap itu sebagai beban, tapi sebuah pengabdian kecil untuk kemanusiaan.

Ketika ditanya apa yang paling membanggakan dari pekerjaannya, ia menjawab sederhana, “Melihat orang tua mulai terbuka dan mau menyekolahkan anaknya. Itu kebanggaan kami,” ujarnya.

Dalam setiap langkahnya, ia menanamkan harap bahwa pendidikan adalah jalan untuk mengubah nasib. Bukan hanya bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat di sana secara keseluruhan.

Kini, anak-anak yang dulu hanya berangan-angan, perlahan mulai percaya diri menatap masa depan. Beberapa dari mereka telah melanjutkan sekolah hingga tingkat SMA dan SMP. Sebuah pencapaian yang mungkin terdengar kecil bagi banyak orang, tetapi di desa ini, itu adalah lompatan besar.

“Alhamdulillah, mereka sudah mulai terbuka,” ujar Pak Arshad.

Kisah Guru Arshad menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Meski jalan yang dilaluinya tidak mudah, ia tidak pernah menyerah. Setiap tetes keringat, setiap langkah berat di tengah hutan, dan setiap kata motivasi yang ia ucapkan merupakan wujud cintanya pada negeri ini.

Sudah selayak dedikasi Guru Arshad ini menjadi lentera bagi para guru di seluruh pelosok negeri. Setiap anak Indonesia, tanpa memandang tempat tinggalnya, berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Selamat Hari Guru, wahai para pahlawan tanpa tanda jasa. Dengan guru hebat seperti Arshad, kita bisa yakin bahwa Indonesia akan semakin kuat. #PendidikanBermutuUntukSemua. (Antara)

330 kali dilihat, 3 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *