Mengapa Penangkapan 9 Petani Saloloang Dinilai Melanggar HAM

Penangkapan petani Saloloang semakin membuktikan bahwa IKN adalah proyek elitis.

Seorang pekerja proyek Bandara VVIP IKN (berompi kuning) mendatangi petani dan menanyakan maksud kedatangan di wilayah megaproyek. Foto: Tangkapan Layar

apakabar.co.id, JAKARTA – Sembilan petani Saloloang ditangkap di tengah diskusi penggusuran lahan Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN). Tindakan kepolisian dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).

Seharusnya, penghitungan ganti untung sawit milik sembilan petani ini berlangsung pada Minggu 25 Februari 2024.

Kesembilannya merupakan Kelompok Tani Saloloang di Pantai Lango. Mereka adalah Anton Lewi, Kamaruddin, Ramli, Rommi Rante, Piter, Sufyanhadi, Muhammad Hamka, Daut dan Abdul Sahdan.

Tanaman mereka mesti digusur imbas pembangunan Bandara Very Very Important Person (VVIP) Ibu Kota Nusantara. Belum lagi selesai ganti untung, aktivitas megaproyek sudah berjalan.

Para petani ini bahkan tak menolak. Mereka hanya meminta penghitungan ulang. Sehari sebelum hitung ulang nilai penggantian, Sabtu (24/2), mereka mendatangi kebun dengan mandau. Tujuannya menebas rumput.

Kala itu tak terlihat pegawai Bank Tanah maupun dinas terkait. Hanya ada beberapa TNI dan polisi yang berjaga.

Selesai menebas kebun, para petani kembali ke Jenebora. Mereka membakar ikan dan mendiskusikan rencana verifikasi esok.

Pada sekitar pukul 20.20 WITA melintas seorang polisi yang mereka kenal. Diduga diskusi itu sudah diawasi polisi. “Cuma jalan-jalan saja,” ujar petugas itu kepada mereka.

Belum lagi makan bersama, tujuh mobil berisi puluhan polisi datang menyergap. Penangkapan berlangsung cepat.

Para polisi ini ternyata datang untuk merespons aduan pekerja proyek Bandara VVIP IKN. Penangkapan dilakukan hanya selang sehari laporan dimasukkan.

“Dilakukan upaya hukum karena mereka mengganggu kegiatan pekerjaan proyek bandara dengan melakukan pengancaman membawa sajam kepada para pekerja di lapangan,” jelas Kapolres Penajam Paser Utara, AKBP Supriyanto dihubungi apakabar.co.id.

Pengancaman itu, kata polisi, membuat para operator mundur dan menghentikan aktivitas di lahan bandara VVIP IKN.

Aksi pengancaman itu, masih kata polisi, kemudian berlanjut pada keesokan harinya, Sabtu (24/2). Sekelompok orang datang untuk kembali melakukan penghentikan aktivitas.

Kesembilan petani ini kemudian dibawa polisi ke markas Polda Kaltim. Mengantongi dua alat bukti yang cukup, polisi menetapkan mereka sebagai tersangka.

Adapun pasal yang disematkan mencakup Pasal 335 ayat 1 KUHP tentang pengancaman. Dan atau Pasal 2 ayat 1 UU Darurat RI No 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam.

“Kasusnya ditangani Polda Kaltim,” jelas Supriyanto.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Saiduani Nyuk menyayangkan penangkapan para petani Saloloang. Terlebih, pengenaan pasal sajam.

“Semestinya mereka tidak ditangkap karena membawa mandau,” jelas Saiduani Nyuk kepada apakabar.co.id.

Mandau adalah senjata tradisional Dayak. Baginya itu simbol adat.

Persoalan lain juga muncul. Agustina, kakak dari Kamaruddin, tak terima adiknya ditangkap. Sebab aparat bergerak tanpa surat perintah penangkapan. Surat penangkapan baru diberikan sehari setelahnya.

“Mereka bukan penjahat, mereka hanya petani sawit yang mencari makan dari kebun. Ada anak istri yang harus dinafkahi, tapi polisi menangkap seperti penjahat narkoba atau teroris begitu. Tidak ada surat penangkapan juga,” jelas Agustina.

Namun keterangan tersebut dibantah langsung oleh Kapolda Kaltim Irjen Pol Nanang Avianto. “Semua prosedur sudah dijalankan,” jelas Nanang saat ditanya apakabar.co.id mengenai temuan petugas tanpa surat tugas.

Video beberapa saat sebelum para petani Saloloang ditangkap kemudian beredar. Sejumlah petani terlihat berdiskusi alot dengan para pekerja proyek di lahan bandara VVIP. Namun di akhir, mereka bersalaman hangat.

Para petani itu hanya mempersoalkan tanah mereka yang belum selesai diganti untung. Namun, penggarapan lahan sudah mulai dikerjakan.

Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022, Hairansyah melihat potensi pelanggaran hak asasi dalam kasus penangkapan petani Saloloang.

“Apa yang dilakukan oleh para petani ini bagian dari hak konstitusional yang merupakan hak asasi manusia,” jelas Hairansyah kepada apakabar.co.id.

Baginya, sudah jelas setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul. Atau, mengeluarkan pendapatnya. Semuanya merupakan amanat Pasal 28E ayat (3) UU Dasar RI Tahun 1945.

Polisi, menurutnya, mesti menjalankan prinsip kewajiban aparat negara terhadap HAM. Yaitu dengan menegakkan, melindungi dan menghormati hak asasi.

“Polisi harus bersikap profesional dan bertindak sesuai prosedur,” jelas Ancah, sapaannya.

Lantas, apakah aksi polisi menangkap kesembilan petani ini bisa dikatakan melanggar HAM?

Ancah menyiratkan hal tersebut. Terlebih para petani ditangkap yang sedang berdiskusi terkait nasib lahan yang bakal digusur untuk Bandara VVIP IKN.

Setiap penangkapan harus sesuai prosedur. Tanpa surat tugas atau perintah, sebuah penangkapan tak ubahnya pelanggaran hukum.

“Ini berpotensi terjadi pelanggaran HAM terutama hak untuk memperoleh keadilan,” jelas Ancah.

Bisa dilihat dari ketentuan UU nomor 39/99 tentang HAM. Khususnya, Pasal 1 angka 6 UU HAM. Definisi pelanggaran HAM adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang. Termasuk aparat negara. Baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaiannya melawan hukum dengan mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi seseorang atau kelompok orang.

Dalam konstitusi dan UU Nomor 39/99, kebebasan berpendapat dan berkumpul adalah hak setiap orang. Upaya penangkapan yang dilakukan karena mereka berkumpul dan berpendapat adalah bentuk pelanggaran HAM.

“Dalam proses penangkapan polisi juga tidak boleh ada kekuatan berlebih sesuai Perkap 08/99,” jelas Ancah.

Komnas HAM memiliki mandat dalam pengawasan dan pelaksanaan HAM. Sudah saatnya turun tangan memantau dan menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap petani Saloloang. Hasilnya nanti bisa direkomendasikan langsung ke presiden dan DPR.

“Para petani yang sedang memperjuangkan haknya adalah pembela HAM yang harus dilindungi,” jelas Ancah.

Terpisah, peneliti kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto merasa heran dengan penangkapan petani Saloloang. Baginya, tanpa ada surat perintah suatu penangkapan tak ubahnya penculikan.

“Sepertinya polisi hasil reformasi saat ini lebih suka pakai cara-cara Orde Baru untuk menyelesaikan masalah,” jelas Rukminto dihubungi terpisah.

Penangkapan sembilan petani Saloloang seolah membuktikan bahwa IKN adalah proyek elitis.

Maka ketika ada protes dari masyarakat berkaitan atau di sekitar IKN akan dianggap mengganggu pembangunan strategis pemerintah.

“Dengan demikan, tanpa pendekatan yg humanis, masyarakat hanya akan menjadi tumbal dari mega proyek ini,” jelas Antropologi Universitas Lambung Mangkurat Nasrullah.

Serangan Sistematis

YLBHI ikut mengecam tindakan aparat Polda Kaltim. Mereka menganggap penangkapan petani Saloloang tak manusiawi dan sewenang-wenang.

Penangkapan petani Saloloang tanpa memperlihatkan surat perintah dan alasan penangkapan tak ubahnya serangan sistematis ke masyarakat.

“Tindakan ini cenderung menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan masyarakat,” jelas Muhammad Isnur dari YLBHI.

Bagi YLBHI, kasus Saloloang membuktikan bahwa ada yang salah dalam model pengamanan proyek strategis nasional (PSN).

Kasus Saloloang tak ubahnya kasus Rempang, dan kasus penembakan masyarakat adat di Seruyan. Masyarakat yang sedang mempertahankan hak tanahnya dikriminalisasi.

“Kapolda Kalteng saat itu dijabat oleh Nanang Avianto yang kini menjabat sebagai Kapolda Kaltim,” jelas Isnur.

Tanpa legalitas surat, YLBHI menilai bahwa apa dilakukan aparat Polda Kaltim telah melanggar HAM.

YLBHI pun mendesak Kapolda Kaltim segera melepaskan sembilan orang masyarakat Pantai Lango yang ditangkap.

Mereka juga meminta Kapolri menindak tegas aparat Polda Kaltim yang melakukan penangkapan sewenang-wenang sembilan petani Saloloang.

Termasuk meminta pemerintah dan DPR RI mengevaluasi kebijakan pengamanan kepolisian dalam proyek strategis nasional, khususnya IKN.

“Saat ini kami sedang berupaya melakukan akses [pendampingan] ke mereka,” pungkas Isnur.

Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Artanto memastikan sembilan petani Saloloang oleh penyidik Ditreskrimum terus bergulir. Ia kemudian merespons desakan YLBHI.

“Sebagai tersangka yang ditahan dalam proses hukum ada hak selaku tersangka. Salah satunya adalah mengajukan penangguhan penahanan,” jelas Artanto, Selasa malam (27/2).

511 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *