NEWS

Pembangunan IKN Tak Cukup Dongkrak Ekonomi Kaltim

Warga berjalan dan berfoto di Taman Kusuma Bangsa, Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (18/8/2024). Taman Kusuma Bangsa menjadi lokasi wisata bagi masyarakat sekitar setelah diresmikan pada Senin (12/8/2024). Foto: ANTA
Warga berjalan dan berfoto di Taman Kusuma Bangsa, Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (18/8/2024). Taman Kusuma Bangsa menjadi lokasi wisata bagi masyarakat sekitar setelah diresmikan pada Senin (12/8/2024). Foto: ANTA
apakabar.co.id, JAKARTA - Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang digadang-gadang menjadi motor baru ekonomi Kalimantan Timur (Kaltim) ternyata belum mampu memberi dorongan signifikan. 

Pertumbuhan ekonomi Kaltim pada paruh pertama tahun 2025 justru tercatat di bawah rata-rata nasional, dengan tekanan utama datang dari sektor pertambangan dan jasa konstruksi.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kaltim Budi Widihartanto menjelaskan, ekonomi nasional tumbuh 4,87 persen (y-on-y) pada Triwulan I dan 5,12 persen (y-on-y) pada Triwulan II 2025.

Sementara Kaltim hanya mencatat 4,08 persen pada Triwulan I dan 4,69 persen pada Triwulan II.


“Tentunya kita semua berharap, perekonomian Kaltim tumbuh lebih tinggi pada Triwulan III dibanding Triwulan I dan II,” ujar Budi saat membuka kegiatan Diseminasi Laporan Perekonomian Provinsi (LPP) Kalimantan Timur di Samarinda, Rabu.

Ia menargetkan, pertumbuhan ekonomi Kaltim secara keseluruhan tahun (year-on-year) bisa menembus di atas 5 persen. Namun, Budi mengakui tahun 2025 bukan periode yang mudah bagi Kaltim.

“Tantangan utama datang dari moderasi di sektor-sektor kunci. Ada penurunan di konstruksi, di komoditas utama (pertambangan), dan juga dampak pergeseran anggaran karena Pilkada yang mempengaruhi percepatan realisasi pembangunan,” jelasnya.

Meski begitu, optimisme tetap ada. Pemerintah daerah disebut telah menyiapkan langkah-langkah pemulihan ekonomi untuk semester kedua 2025.

Menurut Budi, pelemahan sektor tambang bermula dari kebijakan perdagangan luar negeri Amerika Serikat yang menaikkan tarif masuk, termasuk terhadap produk asal China.


“Kebijakan itu menurunkan intensitas industri China, yang otomatis mengurangi permintaan energi, termasuk impor batu bara dari Indonesia,” katanya.

Selain China, penurunan permintaan juga terjadi di India, dua pasar utama batu bara Kaltim.

“Tahun lalu Kaltim sempat tumbuh di atas 6 persen. Sekarang turun karena tambang dan konstruksi melemah cukup signifikan,” tutup Budi.