apakabar.co.id, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data terkait kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024 mencatat tingkat partisipasi angkatan kerja telah mencapai 69,80 persen. Angka itu meningkat sebesar 0,5 persen poin dibandingkan Februari 2023.
Selain itu, jumlah pengangguran terbuka juga berkurang sebanyak 0,79 juta orang dibandingkan Februari 2023. Secara umum, pencapaian tersebut cukup baik.
Statistisi di Badan Pusat Statistik Lili Retnosari menilai masalah ketenagakerjaan tidak hanya sebatas itu. Jika diamati lebih dalam, tingkat partisipasi angkatan kerja yang mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi, masih menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Dari total sekitar 214 juta penduduk, kata Lili, usia kerja atau usia produktif (15-64 tahun), hanya 69,80 persen yang aktif secara ekonomi. Ini artinya, terdapat 30,20 persen atau sebanyak 64,62 juta orang usia produktif yang tidak aktif secara ekonomi pada Februari 2024. Mayoritas dari mereka adalah mengurus rumah tangga, dan sisanya masih bersekolah.
Tingginya angka tersebut, kata Lili, menjadi hal yang perlu dianalisa lebih lanjut dan dicari penyebabnya. Apakah benar mereka memang benar-benar tidak mau bekerja, atau karena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia, sehingga akhirnya menyerah dan terpaksa tidak bekerja.
“Hal ini perlu diperhatikan bersama karena jumlah penduduk usia produktif di Indonesia diprediksikan akan terus bertambah,” ujarnya di Jakarta, Selasa (21/5).
Bahkan, menurut para pakar, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia pada tahun 2030-2045 akan berjumlah lebih dari 60 persen dari total populasi penduduk. Untuk itu, pemerintah perlu mempersiapkan berbagai lapangan pekerjaan dan membuka banyak kesempatan untuk generasi usia produktif tersebut.
Berbagai jenis keterampilan yang diperlukan di masa depan menjadi hal yang layaknya diberikan kepada para generasi saat ini yang masih berada di bangku sekolah. Pasalnya, jika tidak dipersiapkan dari sekarang, banyaknya usia produktif justru dapat menjadi tambahan beban, dimana mereka tidak aktif secara ekonomi.
Hal lain, ujar Lili, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menyiapkan lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Tentu generasi saat ini, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih memilah pekerjaan mana yang dapat memberikan penghasilan yang lebih layak untuk kehidupan mereka.
“Saat ini saja, jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, pengangguran lebih banyak terdapat pada mereka yang berpendidikan tinggi,” terangnya.
Data BPS per Februari 2024 menunjukan tingkat pengangguran terbuka tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) masih merupakan yang tertinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 8,62 persen. Bahkan, tingkat pengangguran pada lulusan Diploma IV, S1, S2, dan S3 meningkat dari 5,52 persen pada Februari 2023, menjadi 5,63 persen pada Februari 2024.
“Oleh karena itu, ketersediaan lapangan kerja yang mampu menyerap angkatan kerja dengan kualifikasi pendidikan tinggi pun perlu diperluas,” tegasnya.
Hal lainnya, jumlah pengangguran terbuka yang sudah menurun juga perlu diperhatikan. Secara absolut, jumlah pengangguran di Indonesia masih banyak, yakni sekitar 7,20 juta orang.
Apalagi, jika dilihat lebih dalam, ternyata penduduk bekerja juga banyak yang statusnya hanya sebagai pekerja keluarga/tidak dibayar (14,10 persen), pekerja bebas di nonpertanian (4,96 persen), dan pekerja bebas di pertanian (3,86 persen).
“Ini berarti, meskipun mereka berstatus bekerja, pekerjaan mereka pun belum tentu menghasilkan pendapatan yang dapat dikatakan cukup. Bahkan, sebesar 14,10 persen atau sekitar 20 juta orang hanya sebagai pekerja keluarga/tidak dibayar,” paparnya.
Berkaca dari kondisi saat ini, bayangan ke depan, generasi muda usia produktif tentu tidak mau jika hanya menjadi pekerja keluarga/tidak dibayar. Bisa jadi, kata Lili, mereka lebih memilih untuk tidak bekerja jika belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka.
“Di sinilah, dikhawatirkan tingkat partisipasi angkatan kerja di masa depan akan menurun. Perlu langkah konkret dari sekarang yang perlu disiapkan untuk mengatasi permasalahan ketenagakerjaan,” terangnya.
Untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan di Indonesia, perlu adanya langkah strategis yang menyeluruh. Pertama, pemerintah harus fokus pada pembangunan infrastruktur yang dapat menciptakan lapangan kerja baru, terutama di sektor-sektor yang memiliki potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, investasi dalam pelatihan dan pendidikan keterampilan juga penting untuk meningkatkan kualitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global. “Hal itu akan membantu mengurangi kesenjangan antara kualifikasi pendidikan dan persyaratan pekerjaan,” tegasnya.
Kedua, penting bagi pemerintah untuk memberikan insentif kepada sektor swasta agar lebih banyak berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dengan penghasilan yang layak. Ini dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan usaha kecil dan menengah serta perusahaan besar, termasuk memperbaiki iklim investasi untuk menarik investasi asing.
Terakhir, ungkap Lili, perlu langkah konkret untuk memperbaiki kondisi pekerja informal, seperti pekerja keluarga/tidak dibayar. Hal itu bisa dilakukan melalui program perlindungan sosial yang menyediakan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial bagi pekerja informal, sehingga mereka dapat meningkatkan taraf hidup dan berkontribusi secara lebih produktif pada perekonomian.
“Langkah-langkah itu menjadi solusi ketenagakerjaan di Indonesia yang dapat diatasi secara bertahap menuju kondisi yang lebih baik dan berkelanjutan,” tandasnya.
