apakabar.co.id, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim membeberkan temuan hampir 20 ribu hektare lahan masyarakat di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) diduga telah dikuasai secara sepihak oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Setia Agro Abadi (SAA).
Perusahaan sawit itu diduga beroperasi di luar Hak Guna Usaha (HGU), masuk ke dalam tanah warga yang sudah bersertifikat.
Temuan WALHI ini bermula dari analisis spasial. Hasil overlay peta izin PT SAA dengan peta kampung menunjukkan, sekitar 6.101 hektare konsesi perusahaan justru berada di dalam wilayah Kampung Tri Pariq Makmur, Kecamatan Long Hubung. Termasuk lahan milik warga yang sah secara hukum.
Tak berhenti di sana. WALHI juga menemukan potensi konflik serupa di lima kampung lain: Long Hubung Ulu, Matalibaq, Memahak Teboq, dan Wana Pariq. Total lahan yang tumpang tindih mencapai 19.949 hektare.
“Ini bukti ada praktik penguasaan tanah di luar HGU. Bentuk perampasan ruang hidup masyarakat,” kata Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, Fathur Roziqin Fen, dalam siaran persnya, Rabu (27/8).
Ironisnya, meski puluhan ribu hektare Mahakam Ulu sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit, manfaatnya hampir tak terasa.
Penerimaan daerah kecil, sementara kerugian sosial, ekonomi, dan ekologis jauh lebih besar. Warga kehilangan tanah, ruang hidup hancur, konflik agraria berulang tanpa solusi adil.
WALHI mengapresiasi langkah Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu yang menanggapi aduan warga. Namun, mereka mengingatkan, kasus PT SAA hanyalah awal dari pekerjaan besar.
Ada tiga hal yang didesak. Pemerintah harus menjatuhkan sanksi tegas pada perusahaan pelanggar, melakukan audit menyeluruh terhadap izin sawit di Mahakam Ulu, dan menghentikan praktik obral izin yang hanya memperpanjang konflik.
“Ini bentuk konflik agraria yang tidak bisa dibiarkan,” tegas Fathur.
Menurut WALHI, konflik di Mahakam Ulu adalah potret masalah struktural sawit di Indonesia. Model pembangunan yang bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam hanya melanggengkan ketimpangan, perampasan tanah masyarakat, dan kerusakan lingkungan.
Sebagai jalan keluar, WALHI mendorong pemerintah untuk berani menata ulang arah pembangunan. Mereka mengusulkan transisi menuju Ekonomi Nusantara yang regeneratif, berbasis pada usaha komunitas dan relasi harmonis dengan alam.
“Hanya dengan itu keadilan ekologis bisa diwujudkan, bagi masyarakat hari ini dan generasi mendatang,” pungkas WALHI.