apakabar.co.id, JAKARTA – Kontestasi Pilkada harus menjadi hajatan rakyat bukan hajatan partai politik atau tim sukses. Perbedaan pilihan calon kepala daerah, wali kota, bupati atau gubernur merupakan satu keniscayaan sebagai bagian dari demokrasi.
Hal itu diungkapkan Anggota MPR RI Aria Bima saat melakukan sosialisasi 4 pilar kebangsaan yang digelar di The Sunan Hotel Solo, Jumat (5/7) malam. Acara tersebut dikemas dalam acara reuni SMA St Yosef Solo.
“Jangan mengubah prosesi kontestasi pilkada menjadi satu proses kontestasi elit atau partai politik atau tim sukses bahkan menjadi hajatan domestik yang disebut politik dinasti,” ujar Aria Bima yang juga wakil ketua Komisi VI DPR RI itu.
Aria Bima membeberkan perbedaan pilihan calon kepala daerah adalah hal yang biasa. Namun jauh dibalik itu, persatuan dan kesatuan, kata Aria Bima, harus selalu dikedepankan.
“Karena setelah kontestasi, kita bersatu lagi siapa yang terpilih adalah kepala daerah kita bersama, ini harus dimulai dari kalangan elit. Maka pertemuan antar tokoh, antar partai politik, lintas partai pengusung di antara calon di pilkada adalah hal penting untuk memberikan kesejukan,” paparnya.
Menurut politisi PDIP itu, pilkada yang bakal digelar 27 November nanti harus ditampilkan sebagai hajatan yang dilaksanakan secara happy dan fun. Jangan terlalu tegang seperti di musim pilpres lalu.
“Apapun perbedaan kita, apapun gesekan yang terjadi saat pilkada, sila ketiga Pancasila karena proses demokrasi ini adalah proses pembelajaran, baik untuk masyarakat, untuk rakyat maupun untuk kalangan elitnya,” imbuh Aria Bima
Pada kesempatan itu, dirinya juga menekankan bahwa penyadaran proses demokrasi tidak hanya terjebak pada pemilihan calon kepala daerah. Lebih dari itu, pilkada merupakan proses pendidikan politik bagi rakyat dan juga elit.
“Jadi situasi obyektif yang saat ini muncul dominasi elit menggunakan money politics dan sembakonisasi ini adalah sesuatu hal yang memang rakyat senang, tapi rakyat tidak bisa disalahkan,” terang Aria Bima.
Rakyat menerima bansos karena butuh, tetapi pengingkaran terhadap aspek pilihan demokrasi, baik oleh kalangan elit dan tidak adanya pembelajaran untuk publik merupakan hal yang berbahaya bagi sistem demokrasi Indonesia.
“Hal itu berdampak juga pada produk dari proses demokrasi untuk memilih kepala daerah yang baik,” tandasnya.