apakabar.co.id, JAKARTA – PT Kereta Api Indonesia (KAI) terus berinovasi dalam menciptakan transportasi yang ramah lingkungan. Melalui berbagai langkah strategis, PT KAI berupaya mengurangi emisi karbon guna mewujudkan sistem transportasi yang lebih berkelanjutan. Hal ini diwujudkan melalui proses dekarbonisasi yang mencakup berbagai aspek operasional perusahaan.
Dalam acara ‘Ngariung and Sustainability Tour‘ yang digelar PT KAI bersama Indonesian Society of Sustainability Professionals (ISSP), Executive Vice President UPT Balai Yasa Manggarai KAI, Idrus Fauzi, menyampaikan bahwa upaya keberlanjutan KAI terus diperkuat.
Kegiatan itu bertujuan memperkokoh komitmen PT KAI dalam menghadirkan transportasi ramah lingkungan serta membagikan wawasan mengenai tantangan dan strategi dekarbonisasi di sektor transportasi.
“Berbagai inovasi untuk menghadirkan transportasi ramah lingkungan telah dilakukan,” kata Idrus Fauzi di Jakarta, Minggu (2/3).
Kolaborasi berbagai pihak, termasuk komunitas, akademisi, railfans, serta lembaga multilateral lainnya, menjadi faktor kunci dalam mewujudkan transportasi berkelanjutan. Vice President Public Relations KAI, Anne Purba, menegaskan bahwa PT KAI telah mengimplementasikan sejumlah strategi untuk mengurangi emisi karbon dalam operasionalnya.
Salah satu langkah signifikan yang dilakukan KAI adalah penerapan bahan bakar biodiesel B40 pada lokomotif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Selain itu, KAI juga memanfaatkan energi baru terbarukan dengan mengimplementasikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di berbagai fasilitasnya.
Selain upaya berbasis energi, PT KAI juga menerapkan sistem kerja yang lebih efisien dan ramah lingkungan, seperti penggunaan Rail Document System (RDS) yang berbasis paperless office serta teknologi pengenalan wajah (face recognition) untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi penggunaan kertas.
KAI juga menerapkan konsep bangunan hijau (green building) yang telah mendapatkan sertifikasi EDGE serta melakukan pengukuran jejak karbon dalam layanan angkutan penumpang dan barang.
“Program penghijauan melalui penanaman pohon dan pengelolaan limbah juga terus dilakukan,” kata Anne.
Sebagai moda transportasi publik, kereta api memiliki emisi karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan kendaraan pribadi. Dengan hanya menghasilkan 41 gram CO2 per orang per kilometer, satu rangkaian kereta setara dengan 160 mobil atau 560 sepeda motor yang emisinya bisa mencapai 192 gram CO2 per kilometer.
Dalam sektor angkutan barang, satu rangkaian KA barang dengan muatan 3.050 ton hanya menghasilkan 4.563 kg CO2e per ton per kilometer. Jauh lebih rendah dibandingkan 144 truk trailer yang mencapai 49.462 kg CO2e per ton per kilometer. Hal ini membuktikan bahwa transportasi berbasis rel menjadi solusi efektif dalam mengurangi polusi udara.
Tantangan dekarbonisasi transportasi
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, PT KAI masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai target emisi nol bersih. Salah satunya adalah tingginya biaya investasi untuk pengembangan teknologi ramah lingkungan, termasuk elektrifikasi jalur kereta api. Selain itu, penerapan biodiesel B40 masih dalam tahap uji coba dan memerlukan penyesuaian teknis sebelum dapat diterapkan secara luas.
Ketua Umum ISSP Indonesia, Satrio Dwi Prakoso, menegaskan bahwa semua pihak memiliki peran penting dalam menekan emisi karbon di sektor transportasi. Dalam hal ini, PT KAI juga mengembangkan roadmap menuju Net Zero Emission (NZE) 2060, termasuk dengan mengembangkan teknologi Green Train yang mencakup lokomotif hibrida dan listrik serta berbagai inovasi efisiensi energi.
Dalam diskusi yang dilakukan dalam kegiatan tersebut, VP Sustainability KAI, Tria Mutiari, mengungkapkan bahwa peningkatan penggunaan transportasi berbasis rel berpotensi mengurangi 66-125 ton CO₂ per penumpang-km per hari di wilayah Jabodetabek. Namun, kesiapan infrastruktur dan fasilitas transportasi publik masih menjadi tantangan utama dalam peralihan dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.
Sementara itu, Spesialis Keberlanjutan PT Solusi Bangun Indonesia (SBI), Widya Paramita, menambahkan bahwa sektor industri juga mengalami tantangan serupa dalam mengurangi emisi karbon. SBI telah mengimplementasikan berbagai inisiatif berkelanjutan, seperti penggunaan forklift listrik dan panel surya di fasilitas distribusi serta optimalisasi distribusi logistik dengan kereta api, yang mampu mengurangi emisi hingga 45 persen dibandingkan angkutan truk.
Kesadaran masyarakat
Kesadaran masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam mendukung keberlanjutan transportasi. Fitria Wulandari, seorang pengguna Commuter Line, membagikan pengalamannya mengenai manfaat menggunakan transportasi publik dalam mengurangi jejak karbon. Menurut perhitungannya, perjalanan Bekasi-Jakarta sejauh 30 km dengan kereta api hanya menghasilkan emisi karbon sebesar 2.4 kg CO₂ per hari, jauh lebih rendah dibandingkan mobil pribadi yang mencapai 12 kg CO₂ per hari.
Namun, Fitria juga menyoroti tantangan yang masih dihadapi pengguna Commuter Line, seperti kondisi berdesakan, gangguan perjalanan, dan keterbatasan fasilitas integrasi stasiun. Hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan kualitas layanan transportasi publik masih perlu terus dilakukan agar masyarakat semakin tertarik beralih ke transportasi rendah karbon.
Dengan kolaborasi berbagai pihak, diharapkan transportasi berbasis rel dapat semakin berkembang dan menjadi solusi utama dalam menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan sehat bagi generasi mendatang.