Gambar KPU Cianjur Iklan KPU Cianjur

Serikat Buruh IMIP Desak Perusahaan Beri Layanan Kesehatan yang Adil dan Layak

Pelayanan merupakan elemen utama bagi tiap unit kesehatan, termasuk Klinik yang ada di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Klinik dituntut mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memenuhi standar pelayanan yang optimal. Foto: SPN

apakabar.co.id, JAKARTA – Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) IMIP Morowali menuntut pihak manajemen Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) untuk memperbaiki sistem layanan dan fasilitas kesehatan untuk buruh yang berobat di Klinik Kesehatan PT IMIP.

SBIPE IMIP juga mendesak agar seluruh perusahaan di Kawasan IMIP mempermudah pengurusan surat izin bagi buruh yang tidak bekerja karena sakit. Hal itu menyusul maraknya antrean ratusan buruh selama berjam-jam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di klinik PT IMIP di Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah.

Eko, seorang buruh, terpaksa harus menunggu selama lima jam hanya untuk memeriksakan telinganya ke poli THT klinik IMIP.

Membludaknya pasien yang menunggu pelayanan di klinik IMIP, kata Eko, terjadi hampir setiap hari mulai pukul 07.00 WITA sampai 23.00 WITA. Hal itu membuat waktu buruh banyak terbuang percuma dan mereka tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.

“Sudah empat tahun seperti ini. Kalau mau berobat di sini (klinik IMIP) selalu mengantre panjang. Kadang menunggu seharian hanya untuk berobat, padahal yang menunggu sedang sakit,” jelasnya, Jumat (16/2).

Senada, Ketua Umum Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) IMIP Henry Foord Jebbs mengungkapkan, sulitnya buruh menerima pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh sistem kuota yang diterapkan klinik IMIP.

Sistem kuota telah menimbulkan kerugian bagi buruh karena jumlah kuota tidak sebanding dengan jumlah buruh yang bekerja di kawasan IMIP. Dengan demikian, buruh tidak mendapatkan hak pelayanan kesehatan, sehingga terpaksa berobat ke puskesmas atau klinik kesehatan lainnya.

Selama ini  kuota layanan pasien di klinik IMIP mencapai sekitar 540 orang per hari. Kuota untuk jadwal pengobatan pagi mencapai 180 orang, siang 180 orang, dan pasien malam 180 orang. Hal itu dilakukan atas pertimbangan kesesuaian kapasitas fasilitas dan tenaga medis yang tersedia.

Hanya saja, sistem kuota telah membuat beberapa pasien tidak mendapatkan nomor antrean seiring jumlahnya yang terbatas.

“Sayangnya, klinik lain di sekitar Kawasan IMIP masih sangat terbatas, hanya puskesmas yang bisa melayani pasien. Itu pun jadwal pelayanannya terbatas dari pagi hingga sore saja,” terang Henry.

Di sisi lain, penerapan sistem jam kerja panjang dari perusahaan yang beroperasi di IMIP menyebabkan buruh sering jatuh sakit. Adapun fasilitas layanan kesehatan, baik yang disediakan oleh klinik IMIP maupun oleh pemerintah jumlahnya terbatas.

“Maka yang lagi-lagi dirugikan adalah buruh yang kehilangan hak atas layanan kesehatannya,” tegas Henry.

Akses layanan kesehatan akibat sistem kuota berimbas ke buruh yang ingin mengesahkan Surat Keterangan Sakit (SKS) dari dokter di luar Klinik IMIP. Sejauh ini, semua perusahaan yang beroperasi di Kawasan IMIP hanya memberikan izin tidak bekerja karena sakit, jika buruh memiliki SKS yang dikeluarkan oleh klinik IMIP dengan stempel basah.

“Jika syarat pengesahan tidak dipenuhi, maka ketidakhadiran karena sakit dianggap sebagai perbuatan mangkir. Banyak buruh yang tidak bekerja karena sakit malah dianggap mangkir oleh perusahaan karena tidak memiliki SKS dari Klinik IMIP,” ujar Henry.

Untuk mengatasi kapasitas layanan kesehatan yang belum mencukupi, PT IMIP bekerja sama dengan apotek dan klinik lain di sekitar kawasan IMIP sebagai alternatif. Namun menurut Henry, kerja sama itu berdampak pada aspek finansial ketika buruh harus mengeluarkan biaya tambahan.

“Banyak buruh yang sakit dan tidak mau berobat dan antri di Klinik IMIP. Akhirnya mereka datang ke apotek yang bekerja sama dengan PT IMIP. Biasanya apotek mengeluarkan SKS dan buruh harus membayar Rp75 ribu hingga Rp100 ribu,” ujar Henry.

Kondisi yang merugikan buruh, dari aspek kesehatan dan finansial menjadi perhatian serius SBIPE IMIP Morowali. Mereka meminta PT IMIP segera memperbaiki dan menambah fasilitas serta tenaga kesehatan di klinik agar buruh bisa mendapatkan layanan kesehatan terbaik.

“Hal ini juga sejalan dengan penghapusan layanan kuota dan mendorong klinik IMIP untuk aktif selama 1×24 jam,” katanya.

Selain itu, imbuh Henry, kerja sama dengan fasilitas kesehatan lain yang menuntut bayaran untuk menerima Surat Keterangan Sakit (SKS) perlu ditiadakan.

“Persyaratan izin untuk tidak bekerja karena sakit yang diterapkan perusahaan di Kawasan IMIP hanya merugikan buruh jika perusahaan tidak menyediakan fasilitas dan sistem kesehatan yang memadai untuk melayani lebih dari 50.000 buruh,” paparnya.

Perusahaan di kawasan IMIP, jelas Henry, sudah seharusnya mempermudah kebutuhan administrasi bagi buruh yang sakit. Perusahaan juga harus menghentikan pemberlakuan jam kerja panjang yang terbukti memiliki dampak buruk terhadap kesehatan dan keselamatan buruh.

291 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *