apakabar.co.id, JAKARTA – Malam yang seharusnya menjadi perjalanan biasa bagi Puji Friyadi justru berubah menjadi mimpi buruk.
Pria asal Samarinda itu mengaku dipukuli oleh sejumlah anggota Brimob karena menegur soal balok kayu yang melintang di jalan umum depan Mako Brimob II di Loa Ipuh Darat, Kutai Kartanegara, Kamis (17/7) malam lalu.
Kepada wartawan, Puji membeberkan kronologi kejadian yang membuatnya luka fisik dan trauma. Insiden bermula dari kesalahpahaman soal balok kayu yang diletakkan melintang di tengah jalan umum, tepat di depan Mako Brimob.
Puji menjelaskan, malam itu ia dalam perjalanan pulang dari Jonggon ke Samarinda. Saat melintas di depan Mako Brimob, ia melihat balok kayu ukuran 5×10 diletakkan begitu saja di jalan.
“Saya biasa bolak-balik ke Jonggon bawa pisang. Pas lewat situ, saya lihat ada balok kayu. Saya berhenti, turun, dan menegur,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa benda tersebut membahayakan pengguna jalan karena tidak ada rambu atau tanda pengaman.
“Saya bilang, kalau mau atur lalu lintas, mestinya pakai cara sesuai SOP, misalnya polisi tidur. Bukan balok kayu begitu,” katanya.
Namun tegurannya malah memicu kemarahan. Beberapa personel Brimob, kata Puji, bersikap agresif.
“Mereka langsung bilang, ‘Kamu ngerti apa? Mau jadi jagoan?’ Habis itu saya dipukul, jatuh, bangun lagi, lalu datang dua orang dari samping, dan dari dalam pos juga keluar. Saya ditarik dan terus dipukuli,” ucapnya.
Puji mengaku dipukuli habis-habisan hingga tak sadarkan diri. Ia sempat diseret ke genangan air dan berteriak minta tolong, namun tak ada yang menolong.
“Saya nggak tahu apa yang terjadi setelah itu. Saat sadar, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Saya kaget karena pakaian saya sudah diganti. Bahkan celana dalam pun diganti,” katanya.
Ia memperkirakan penganiayaan terjadi sekitar pukul 9 malam dan berlangsung lebih dari satu jam.
Setelah sadar, ia ditawari makan dan diminta menandatangani surat pernyataan yang isinya tidak ia pahami. “Saya hanya disuruh tulis sesuai arahan mereka, lalu tandatangan,” ujar Puji.
Sekitar pukul 1 dini hari, Puji tiba di rumahnya di Samarinda dengan kondisi lemas dan pusing. Keluarganya langsung mendokumentasikan kondisi tubuhnya dalam bentuk video, lalu mengirimkannya ke keluarganya di Jonggon.
Video tersebut membuat warga Desa Jonggon geram. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan Ketua RT sepakat datang ke Mako Brimob pada Jumat, 18 Juli 2025, untuk meminta klarifikasi.
“Pak RT, ustadz, semua sepakat untuk datang dengan maksud mediasi. Tapi rupanya pihak Brimob salah paham,” kata Puji.
Menurutnya, saat dua mobil warga tiba di lokasi, mereka justru disambut dengan bentakan dan kekerasan. Pihak Brimob diduga menganggap kedatangan warga sebagai bentuk penyerangan.
“Padahal warga hanya ingin meluruskan kejadian dan mengingatkan agar tidak ada lagi balok kayu di jalan umum,” jelasnya.
Ketua RT 10 Desa Jonggon, Rohyadi, membenarkan bahwa warga hanya ingin mengklarifikasi kebenaran cerita Puji.
“Niat kami cuma ingin tahu, benar atau tidak cerita Pak Puji. Kami ingin dengar dari dua belah pihak,” ujarnya.
Namun niat itu malah berujung insiden pemukulan. Ia juga mendengar ada suara tembakan saat kejadian.
“Ada beberapa kali tembakan. Mungkin untuk kendalikan situasi. Tapi saya tidak tahu pasti,” katanya.
Beberapa warga disebut sempat ditahan di dalam Mako Brimob dan tak bisa dihubungi. Setelah dibebaskan, sebagian langsung ke rumah sakit untuk visum dan perawatan.
Komandan Pasukan Brimob II, Brigjen Pol Arif Budiman, menanggapi peristiwa tersebut. Ia menyebut kejadian itu hanyalah kesalahpahaman yang kini sudah diselesaikan secara damai.
Menurut Arif, balok kayu dipasang karena sering terjadi aksi kebut-kebutan di depan Mako. “Itu bukan untuk menghalangi warga. Hanya untuk cegah motor ngebut,” katanya.
Ia mengaku tak tahu siapa yang lebih dulu berbicara kasar dalam insiden awal. Tapi ia menyebut ketegangan selesai malam itu.
Namun keesokan harinya, Jumat sore, sekitar 20 warga datang ke Mako dengan emosi. “Mereka ngebut masuk ke area penjagaan, anggota lagi olahraga. Jadi terjadi keributan,” ujarnya.
Arif mengklaim warga terprovokasi oleh pesan yang beredar di grup WhatsApp.
“Ada ajakan ‘ayo rame-rame ke Brimob’. Setelah kami jelaskan, mereka baru sadar bahwa informasi itu salah,” katanya.
Pihaknya kemudian memfasilitasi mediasi dan menyebut warga akhirnya minta maaf setelah mengetahui duduk perkaranya.
“Beberapa memang luka ringan, tapi biaya pengobatannya kami tanggung. Keluarga korban juga sudah kami temui,” ungkapnya.
Ia berharap masyarakat tidak bertindak gegabah atas informasi yang belum terverifikasi.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengingatkan bahwa peristiwa semacam ini memperburuk kepercayaan publik terhadap aparat.
“Kalau masyarakat terus kehilangan kepercayaan pada polisi, maka mereka juga kehilangan kepercayaan pada negara. Itu tanda negara gagal,” ujarnya.
Ia menambahkan, hilangnya fungsi negara akan memicu hukum rimba: siapa yang kuat, dia yang menang. “Kalau ini terus terjadi, chaos bisa muncul dan mengganggu ketertiban umum,” pungkasnya.