apakabar.co.id, JAKARTA – Mantan Ketua KPU Banjarbaru, Rozy Maulana divonis hakim bersalah. Diganjar enam bulan penjara.
“Menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan,” jelas Hakim Ketua Satriadi dikutip dari laman sistem informasi penelusuran fakta Pengadilan Negeri Batulicin, Jumat (6/9).
Selembar kuitansi pembayaran senilai Rp3,6 miliar jadi bukti perkara. Kuitansi inilah yang digunakan penyidik menjerat Rozy. Rozy diduga menipu Gusti Denny Ramdhani. Duit Rp3,6 miliar diberikan ke Rozy agar dapat menaikkan capaian suara caleg tertentu.
Rinciannya, Rp150.000 dikali 24 ribu warga. Media ini belum mengetahui siapa caleg dimaksud.
Yang pasti, belakangan Rozy diduga tak dapat menepati janjinya. Uang yang diberikan tersisa Rp65 juta. Namun suara yang diinginkan tak tercapai. Setelah dipolisikan, Rozy pun ditahan sejak 22 Juli 2024.
Majelis hakim juga memutuskan agar Rozy tetap menjalani masa tahanan. Sebelumnya JPU menuntut Rozy sembilan bulan penjara.
Pegiat hukum, Herdiansyah Hamzah menilai vonis Rozy terlampau ringan. Apalagi di bawah tuntutan jaksa.
“Tapi di luar itu ini tidak sepadan dengan derajat kejahatan yang dilakukan termasuk dampak yang diakibatkan,” jelas dosen hukum Universitas Mulawarman ini.
Hakim, menurut Castro -sapaan karib Herdiansyah- seharusnya memvonis lebih berat. “Supaya memberikan deterrent effect. Ada marwah yang mesti diselamatkan dalam perkara ini,” pungkas Castro.
Castro melihat perkara Rozy bukan sebatas penipuan. Apalagi Rozy adalah ketua KPU.
“Karena termasuk penyelenggara negara, seharusnya dijerat dengan delik suap dan gratifikasi sesuai UU Tipikor.” Keterlibatan pihak lain, sambung Castro, tentu juga harus diusut.
Pakar kepemiluan, Hairansyah melihat bukan hanya vonis hakim yang bermasalah. “Sedari awal, pasal tindak pidana pemilu juga tidak digunakan polisi,” jelasnya.
“Jadi ini bukan hanya soal vonisnya saja,” sambung Ancah, sapaan karib mantan anggota KPU Kalsel 3 periode ini, Jumat (6/9).
Ancah sepakat dengan Castro. Di tingkat penuntutan, seharusnya jaksa juga mengenakan pasal gratifikasi, suap menyuap, dan korupsi.
“Jaksa harusnya bisa menggali lebih dalam. Jangan hanya menerima hasil penyelidikan polisi begitu saja,” jelasnya.
Supaya terang benderang, dan tidak terkesan hanya menjadi ajang memenjarakan salah satu pihak saja, pemberi suap juga harus dijerat.
“Jangan sampai hanya menjadi ajang pemenjaraan pihak yang tidak melaksanakan perintah order suara sesuai harapan pengorder saja,” jelas komisioner Komnas HAM 2017-2022 ini.
“Harusnya hakim bisa lebih progresif, ini lebih dari sekadar penipuan atau penggelapan,” pungkasnya.
Sampai berita ini tayang, jaksa belum membalas pertanyaan media ini terkait upaya banding.
Ketua KPU Kalsel, ihwal proses pergantian antarwaktu (PAW) Rozy memastikan bahwa prosesnya akan segera berjalan.
“Kami akan pleno dan menyampaikan ke KPU RI untuk segera menetapkan PAW,” jelas Andi Tenri Sompa.
Catatan redaksi: Tulisan ini disunting ulang dengan penambahan konfirmasi Andi Tenri Sompa.