OPINI
Membaca Peradaban Jepang dan Bagaimana Indonesia ke Depan?
Oleh: Didin S. Damanhuri*
Mengikuti diskusi dengan Atase Pendidikan KBRI Jepang, Prof. Amzul Rifin, Rektor Univ.Darussalam Gontor, Prof. Dr. KH Fahmy Hamid Zarkasyi, Atase Sosial Budaya KBRI Mohammad Aulia, Dekan FEM IPB, Prof. Irfan Syauki Beiq, Ketua PPI Jepang Prima Gandhi, tentang exchange Pendidikan, Budaya dan Pembangunan antara Indonesia - Jepang, bagaimana kini dan ke depannya.
Misalnya Jepang telah berhasil menjadi negara maju sejak 1980-an, bahkan akhir 1990-an yang men-trespasse AS dalam berbagai bidang industri dengan perekonomian yang persisten dan resilien dalam mnghadapi tantangan termasuk menghadapi globalisasi. Meski dua tahun terakhir ini mengalami penurunan kinerja makro perekonomiannya.
Dari paradigma pembangunan, Jepang berhasil memadukan nilai-nilai modern dengan tradisi dan agama. Ini tidak terlepas dari restorasi dari Kaisar Meiji yang ketika ribuan pemuda Jepang dikirim ke AS dan negara Eropa. Pesannya adalah rebut habis-habisan kapasitas teknik, ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi Barat. Tapi haruslah tetap setia dengan nilai-nilai tradisi dan agama Jepang (Sinto). Juga karena nilai-nilai Byshido dari kaum samurai: kerja keras dan cerdas, disiplin dengan patriotik berinteraksi dengan rakyatnya secara massif sehingga terbangun karakter masyarakat Jepang.
Tradisi ekonomi produktif UMKM sejak tahun 1950-an yang pada gilirannya jadi partner pengusaha besar (konglomerat) dalam hubungan sistem subkontrak. Dalam demokrasi politik pun lebih mengedepankan konsensus antar elit, meski ada pemilu yang berkompetisi secara sehat antar parpol. Itulah Jepang yang heterodox, keluar dari paradigma Barat dalam pembangunannya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dalam sebuah survei, Indonesia adalah sebagai salah negara paling religius di dunia. Misalnya kaum muslimmya sangat besar yang naik haji dan umrah serta maraknya peribadahan ke masjid, gereja, pura, dan seterusnya. Tapi sejak pembangunan ekonomi besar-besaran tahun 1970-an hingga era reformasi, terjadi korupsi massif baik di kalangan elit maupun rakyatnya.
Disiplin kerja dengan produktivitas di segala bidang termasuk rendah di dunia. Dalam hal politik, dari rezim otoritarian (Orla maupun Orba) hingga era kebebasan (rezim demokrasi politik era reformasi) belum kompatibel dengan demokrasi ekonomi, demokrasi sosial maupun keberlanjutan ekologi.
Lebih spesifik, bagaimana dengan sistem pendidikan yang harus dikembangkan ke depan dengan nilai-nilai Pancasila yang sudah jadi common platform bersama sebagai bangsa untuk menopang negara berbasis nilai-nilai Pancasila dan agama publik?
Dalam istilah Prof.Fahmy Zarkasyi, di Indonesia banyak umat Muslim, tapi langka amaliah kemanusiaan umat yang menyumbang kepada negara sebagai bukti keimanan apalagi keihsanannya. Sementara itu di Jepang, umat Islam dan beragama lainnya minoritas selain Sinto (hnya 2-5%). Tapi banyak nilai-nilai muamalah Islam seperti kemiskinan dan korupsi yang sangat sedikit, disiplin, kerja keras, produktif, inovatif dan seterusnya secara personal dan masyarakatnya sangat sejahtera serta keberlanjutan secara sosial dan ekologi. Itu semua sebagaimana dilaksanakannya surat Al-Maun.
Jadi trajektori peradaban ke depan bangsa Indonesia, masih belum jelas bagaimana wujud bangsa dan negara kita? Apakah yang secara normatif nilai-nilai Pancasila itu akan mewujud dalam pelbagai aspek kehidupannya atau apakah justru akan mengarah kepada masyarakat berbasis sekularisme Barat?
Diskusi yang mendasar di "Era Algoritma dan Post Truth" sekarang ini malah makin sulit untuk menarik para elit negara maupun kalangan masyarakat sipil dalam membicarakannya secara serius. Elit maupun massa serta masmyarakat lebih tertarik membicarakan gosip politik tak berkesudahan. Mudah-mudahan saya salah.
*) Ekonom senior dan pendiri INDEF, Guru besar IPB dan Universitas Paramadina
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY

