OPINI

Membedah Cetak Biru Regulasi Baru Koperasi

Ilustrasi Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Foto: Antara
Ilustrasi Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Foto: Antara
Oleh: Rioberto Sidaruk*

Dalam beberapa tahun terakhir, sorotan publik terhadap sektor koperasi, khususnya pada bidang Usaha Simpan Pinjam (USP), dipenuhi nada sumbang.

Berita tentang gagal bayar, penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), hingga skandal yang melibatkan miliaran rupiah dana anggota menjadi headline yang merusak citra pilar ekonomi nasional.

Kepercayaan masyarakat, yang sejatinya adalah modal utama koperasi, tergerus habis. Situasi tersebut diperparah oleh kerangka hukum yang tidak memadai.

Setelah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, kita terpaksa kembali bergantung pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 (UU 25/1992) yang sudah berusia lebih dari tiga dekade.

Kerangka hukum lama terbukti tidak mampu menangani kompleksitas Koperasi Sektor Jasa Keuangan (KSJK) di era modern.
Pengawasan yang masih bersifat administratif dan pembinaan dari Kementerian atau Dinas Koperasi tidak memiliki gigi untuk mengelola risiko likuiditas, tata kelola yang buruk, dan praktik-praktik investasi berisiko tinggi yang kerap dilakukan KSJK.

Akibatnya, ketika persoalan muncul, anggota menjadi pihak yang paling dirugikan tanpa adanya sistem penjaminan simpanan yang legal dan efektif. Koperasi yang seharusnya menjadi soko guru, justru rapuh karena tidak ada pagar pengaman yang kuat.

Oleh karena itu, penyusunan regulasi baru tentang Perubahan Keempat atas UU No 25 Tahun 1992 bukan sekadar kewajiban normatif untuk mengisi kekosongan hukum.

Lebih dari itu, upaya penyelamatan kelembagaan diperlukan. Regulasi baru menawarkan solusi terstruktur dan konstruktif, dengan membagi koperasi secara tegas menjadi koperasi sektor riil, koperasi sektor jasa keuangan, dan koperasi yang menyelenggarakan usaha simpan pinjam (KSP/KSPPS).

Pemisahan tersebut menjadi pintu masuk bagi dua intervensi kelembagaan yang paling kritis dan mendesak: menciptakan pengawasan yang independen dan menjamin keamanan dana anggota.

Lembaga Penjamin Dana

Poin fundamental yang dibawa regulasi baru adalah pembentukan dua lembaga independen yang berfokus pada penguatan keamanan dan pengawasan sektor usaha simpan pinjam: Otoritas Pengawas Koperasi (OPK) dan Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi (LPS Koperasi).

Kehadiran dua entitas tersebut adalah wujud nyata dari pemisahan fungsi pembinaan dari fungsi pengawasan, praktik terbaik yang sudah berlaku di sektor jasa keuangan.

OPK akan menjadi regulator dan pengawas utama, bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugasnya mencakup mengatur, mengawasi, dan memberikan perizinan usaha simpan pinjam, serta memastikan koperasi menerapkan prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik.
OPK juga berwenang melakukan pemeriksaan, penyidikan, dan menetapkan sanksi administratif. Langkah tersebut adalah kemajuan besar untuk memastikan integritas kelembagaan Koperasi dan mencegah penyalahgunaan aset anggota.

Lebih lanjut, LPS Koperasi menguatkan keamanan dana. Fungsi LPS Koperasi adalah menyelenggarakan penjaminan simpanan anggota dan memiliki kewenangan dalam penanganan koperasi gagal.

Dengan adanya LPS Koperasi, simpanan anggota di KSP/KSPPS akan terlindungi, menghilangkan kekhawatiran terbesar masyarakat saat ini dan secara otomatis memulihkan kepercayaan publik.

Regulasi baru juga mengatur tata kelola dengan menawarkan model tata kelola jenjang tunggal yang memungkinkan pengurus mengambil alih fungsi pengawas untuk efisiensi.

Konsep restrukturisasi yang mencakup penggabungan, peleburan, atau pemisahan dan ketentuan kepailitan juga diatur secara rinci dalam regulasi baru, menyediakan panduan hukum yang jelas bagi penyelesaian masalah koperasi yang sudah tidak sehat.
Regulasi ini secara eksplisit mengatur bahwa permohonan pailit untuk KSP/KSPPS hanya dapat diajukan oleh OPK.

Terkait sanksi, regulasi baru memberikan ketegasan dengan sanksi administratif hingga pidana penjara paling lama tujuh tahun untuk pelanggaran serius, seperti perubahan Anggaran Dasar Koperasi dalam pengawasan khusus, serta sanksi pidana bagi penyalahgunaan kata koperasi dan penipuan laporan keuangan.

Dana Kemitraan Usaha

Selain penguatan eksternal melalui pengawasan, regulasi baru juga membangun fondasi internal koperasi.

Cetak Biru Reformasi memperjelas permodalan koperasi yang kini disebut Ekuitas Koperasi, terdiri dari Modal Pokok, Modal Wajib, dan Dana Kemitraan.

Modal Pokok adalah simpanan wajib di awal keanggotaan, dengan nilai nominal yang sama untuk setiap anggota.

Sedangkan Modal Wajib adalah setoran berkala yang menanggung risiko usaha. Diferensiasi tersebut menekankan bahwa modal koperasi harus mencerminkan partisipasi aktif dan tanggung jawab finansial anggota, bukan sekadar dana titipan biasa.

Yang tak kalah penting adalah skema Dana Kemitraan. Skema tersebut memungkinkan koperasi, khususnya sektor riil, untuk menghimpun dana dari anggota maupun non-anggota, termasuk dari Pemerintah atau badan hukum lainnya, untuk membiayai usaha atau proyek spesifik.

Pembagian keuntungan dan kerugian diatur berdasarkan perjanjian, membuka peluang besar bagi koperasi sektor riil untuk menarik pendanaan dari mitra usaha guna membiayai proyek dan pengembangan usaha.
Selain itu, regulasi baru memperkuat hierarki koperasi dengan memperkenalkan Apex Koperasi sebagai jaringan kerja sama untuk memperkuat likuiditas dan dukungan teknis antar koperasi.

Apex Koperasi ini diintegrasikan secara vertikal melalui Koperasi Sekunder, atau horizontal melalui perjanjian kerja sama antar Koperasi Primer.

Semua perubahan detail ini — dari pembentukan lembaga superbody pengawasan (OPK dan LPS Koperasi), perincian permodalan yang membuka skema Dana Kemitraan, hingga fleksibilitas tata kelola dan penegakan hukum — menarik pada satu kesimpulan besar: Koperasi Indonesia sedang bertransformasi menjadi pilar ekonomi yang berdaya saing. Regulasi Usang UU 25/1992 yang kaku kini digantikan oleh kerangka hukum yang adaptif, transparan, dan akuntabel.

Dengan payung hukum yang kuat, koperasi tidak hanya akan bertahan dari guncangan, tetapi juga mampu tumbuh besar, mengintegrasikan usaha melalui Apex Koperasi, dan memanfaatkan dukungan dari Rencana Induk Pembangunan Perkoperasian Nasional yang wajib disusun oleh Pemerintah.

Reformasi struktural tersebut, jika diimplementasikan dengan konsisten, akan menjadi era kebangkitan Koperasi, mewujudkan cita-cita lama Pasal 33 UUD 1945 sebagai kekuatan utama demokrasi ekonomi.

*) Pemerhati ekonomi kerakyatan