OPINI
Mitigasi Dana Bansos untuk Judol dan Beli Rokok
Oleh: Tulus Abadi*
Sejatinya negara ini begitu dermawan kepada masyarakatnya, bahkan bukan hanya kepada masyarakat menengah bawah saja, tetapi juga pada kelas menengah atas.
Subsidi untuk kelas menengah berupa subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp26,7 triliun, yang mayoritas dinikmati oleh pengguna kendaraan pribadi roda empat. Sedangkan untuk masyarakat menengah bawah, negara (pemerintah) banyak menggelontorkan dana untuk program jaring pengaman sosial (social safety net).
Salah satu wujud jaring pengaman sosial bagi kelas menengah bawah adalah berupa dana bantuan sosial (bansos), yang pada 2025 besarannya mencapai Rp110,72 triliun. Dana bansos sebanyak itu didistribusikan kepada 35 juta penduduk di seluruh Indonesia. Suatu jumlah yang sangat signifikan, baik nilai nominalnya, maupun jumlah penerima dana bansos.
Sayangnya, atau bahkan ironisnya, dana bansos sebanyak itu justru sebagian disalahgunakan/diselewengkan, baik oleh oknum pejabat tertentu atau bahkan oleh masyarakat penerima bansos itu sendiri.
Dalam hal dana bansos disalahgunakan/dikorupsi oleh oknum pejabat publik tertentu, KPK sudah mencokok puluhan pejabat publik yang diduga menilep dana bansos, yang totalnya mencapai lebih dari Rp200 miliar pada 2025.
Nah, lalu dalam bentuk apa penyalahgunaan dana bansos oleh masyarakat sebagai penerima bansos? Relevan dengan hal itu, Menteri Sosial Muhammad Syaifulloh Yusuf (Gus Ipul), memberikan warning bahwa dana bansos tidak boleh digunakan untuk: main judi online (judol), membeli rokok, membeli minuman keras, dan bahkan untuk mengembalikan utang.
Public warning oleh Mensos Gus Ipul, secara moral patut kita dukung, kita apresiasi; agar kebermanfaatan dana bansos benar-benar dirasakan oleh masyarakat menengah bawah (rumah tangga miskin).
Sejatinya larangan dana bansos untuk judol, beli rokok, dan beli miras sudah digaungkan oleh Mensos Tri Rismaharini pada 2021, bahkan waktu itu langsung disuarakan oleh Presiden Joko Widodo. Namun larangan itu terbukti tidak/kurang efektif, sebab tidak diikuti oleh intervensi kebijakan dari sisi hulu, baik pada konteks penegakan hukum dan atau kebijakan yang lain.
Maka tanpa intervensi negara/pemerintah dengan kebijakan dan regulasi lain, seruan Mensos Gus Ipul akan berhenti pada tataran imbauan saja. Ada beberapa alasan dan musababnya.
Pada konteks kasus judi online, menurut BPS, terdapat minimal 1juta orang Indonesia tersandera/kecanduan oleh judol. Dan ironisnya, 650 ribu orang yang kecanduan judol itu itu berasal dari rumah tangga penerima bansos. Di Jakarta, menurut Gubernur Pramono Anung, lebih dari 5.000 penerima menggunakan bansos untuk judol. Alamaak.
Terkait mitigasi bansos agar tidak digunakan untuk main judol, maka Mensos harus membangun sinergitas yang kuat dengan Komdigi, OJK, kepolisian, bahkan PPATK, untuk melakukan penegakan hukum dari sisi hulu, misalnya melakukan take down secara masif terhadap aplikasi-aplikasi judi online.
Demikian juga untuk melakukan diseminasi (sosialisasi) tentang bahaya main judol bagi masyarakat. Judol telah menjadi pemicu kuat terjadinya aksi kekerasan dalam rumah tangga, bahkan aksi kriminalitas berat, misalnya pembunuhan.
Tantangan agar dana bansos tidak untuk membeli rokok lebih berat lagi, sebab secara sosiologis jumlah perokok di Indonesia mencapai lebih dari 70 juta orang, atau sekitar 32 persen dari total populasi. Dan ironisnya, sebagian besar dari jumlah perokok itu justru berasal dari rumah tangga miskin.
Relevan dengan data itu, merujuk data BPS dan Susesnas, bahwa rumah tangga miskin di Indonesia mengalokasikan uangnya untuk membeli rokok sebesar 11 persen. Sehingga agar dana bansos tidak disalahgunakan untuk membeli rokok, secara sosiologis sangat sulit dihindari.
Oleh sebab itu, sebagaimana dengan kasus judol, mitigasi agar dana bansos tidak disalahgunakan untuk membeli rokok, Mensos harus bersinergi dengan kementerian lain, seperti Kemenkes, Kemendag bahkan Pemda. Sinergi itu untuk melarang penjualan rokok secara ketengan/batangan, melarang penjualan rokok di sekitar sekolahan/lembaga pendidikan, atau bahkan memahalkan harga rokok.
Sejatinya, untuk mewujudkan upaya pengendalian tembakau dari sisi regulasi/normatif sudah diatur dengan gamblang dan komprehensif dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Kesehatan. Artinya, tidak ada kesulitan pada tataran regulasi. Justru regulasi yang sudah eksis tersebut tidak/belum diimplementasikan dengan baik.
Di sisi lain, sayangnya Menkeu Purbaya tidak menaikkan cukai rokok pada 2026. Padahal kenaikan cukai rokok itu bisa menjadi instrumen efektif untuk melindungi rumah tangga miskin agar uangnya (termasuk dana bansos) tidak digunakan untuk membeli rokok.
Hal lain yang tak kalah krusialnya untuk disorot adalah terkait data penerima dana bansos, yang diduga terdapat fenomena ketidaktepatan penerima bansos yang cukup siginifikan. Konkretnya, terdapat orang yang tidak layak menerima dana bansos tetapi menerimanya, dan di sisi lain, ada yang sejatinya layak menerima dana bansos, tetapi mereka tidak menerimanya.
Contoh kasus, baru-baru ini viral di media sosial, banyak kepala desa dan ASN di Provinsi NTB terbukti menerima dana bansos. Hal ini terjadi karena saat pendataan terjadi fenomena “patgulipat”, misalnya mereka mendapatkan dana bansos karena merupakan keluarga/kerabat dari kepala desa/lurah, atau bahkan kerabat pengurus RT/RW setempat.
Oleh sebab itu sangat mendesak agar Mensos Gus Ipul agar secara rutin melakukan updating/pengayaan data penerima dana bansos, agar penerima bansos benar-benar tepat sasaran.
Selain itu, penting juga bersinergi dengan kementerian lain untuk mendorong dengan kebijakan yang komprehensif, agar dana bansos tidak disalahgunakan oleh masyarakat untuk bermain judi online dan atau membeli rokok.
Agar dana bansos yang mencapai Rp110,78 triliun itu tidak muspro (sia-sia) termakan oleh bandar judi online dan atau taipan industri rokok. Plus mengikis praktik koruptif dana bansos oleh oknum pejabat publik tertentu, baik di kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah.
Masyarakat penerima dana bansos pun mustinya punya kesadaran tinggi, bahwa dana bansos itu untuk mendulang kebermanfaatan ekonomi bagi keluarganya, bukan disalahgunakan untuk bermain judol dan atau membeli rokok.
*) Pegiat Perlindungan Konsumen, Sekjend Komnas Pengendalian Tembakau, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI)
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY


