OPINI

Indonesia dan Tantangan SNDC, Momentum Kukuhkan Kepemimpinan Hijau RI

Seorang delegasi tengah melintas di lokasi penyelenggaraan konferensi Perubahan Iklim PBB/Conference of the Parties (COP) ke 29 UNFCCC di Baku Olympic Stadium, Azerbaijan, Rabu (13/11/2024). Foto: Antara
Seorang delegasi tengah melintas di lokasi penyelenggaraan konferensi Perubahan Iklim PBB/Conference of the Parties (COP) ke 29 UNFCCC di Baku Olympic Stadium, Azerbaijan, Rabu (13/11/2024). Foto: Antara
Oleh: Wicaksono Gitawan*

Di hadapan Sidang Majelis Umum Ke-80 PBB, Presiden Prabowo Subianto dengan lantang menegaskan tekad Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim melalui langkah-langkah nyata dan memenuhi komitmen Perjanjian Paris.

Pernyataan serupa ia sampaikan dalam dua forum global lainnya, janji penghentian penggunaan batu bara dalam 15 tahun ke depan di KTT G20 Brasil pada November 2024 dan komitmen penggunaan 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade pada kunjungan kenegaraan ke Brasil Juli 2025.

Tiga pernyataan di tiga panggung internasional itu menunjukkan ambisi besar Presiden Prabowo untuk menempatkan Indonesia sebagai pemimpin hijau di tingkat global.

Ini menjadi angin segar bagi masyarakat, mengingat ketergantungan tinggi Indonesia pada bahan bakar fosil masih menjadi penyumbang terbesar kenaikan emisi setiap tahun, sebagaimana dilaporkan Global Carbon Budget 2024.

Dampaknya terasa nyata, di antaranya bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, puting beliung, dan hujan ekstrem semakin sering terjadi.

Studi Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) juga menunjukkan, polusi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Banten menyebabkan sekitar 1.470 kematian setiap tahun, dengan dampak yang menjangkau hingga wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Namun, ambisi tersebut membutuhkan langkah nyata untuk mewujudkannya. Menjelang COP30 di Brasil pada November 2025, Indonesia seharusnya telah menyerahkan dokumen rencana aksi iklim nasional kedua (Second Nationally Determined Contribution/SNDC) ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sejak Februari lalu.

Hingga batas waktu yang diperpanjang sampai akhir September 2025, dokumen penting ini belum juga dikirimkan.

Sebagai mandat dari Perjanjian Paris yang diperbarui setiap lima tahun, NDC bukan sekadar dokumen administratif. Namun merupakan “janji resmi” Indonesia kepada dunia tentang langkah-langkah nyata dalam menurunkan emisi, termasuk dari sektor energi.

Maka, keterlambatan penyampaian SNDC bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut kredibilitas dan konsistensi Indonesia dalam kepemimpinan iklim global.

Membumikan Komitmen

Indonesia telah menunjukkan komitmennya sejak meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No 16/2016. Sejak saat itu, berbagai dokumen strategis diterbitkan, NDC pertama pada 2016 dengan target penurunan emisi 29 persen (atau 41 persen dengan dukungan internasional) pada 2030, disusul pembaruan pada 2021 melalui Updated NDC dan dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).

Pada 2022, Enhanced NDC (ENDC) bahkan menetapkan target lebih ambisius: penurunan emisi 31,89 persen (atau 43,2 persen dengan dukungan internasional) pada 2030.

Dokumen SNDC menjadi langkah lanjutan yang krusial bagi Indonesia untuk menjabarkan janji-janji ambisius tersebut ke dalam strategi nyata. Apalagi, SNDC ini akan menjadi yang pertama diserahkan pada era pemerintahan Presiden Prabowo.

Keterlambatan dalam penyusunan dan penyampaiannya tentu dapat mengurangi kepercayaan internasional terhadap kepemimpinan Indonesia, meskipun Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq telah menyatakan bahwa penyusunannya sudah memasuki tahap akhir sejak Juli 2025.
Adanya proses transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo menjelaskan dinamika penyusunan SNDC.

Penyesuaian target dengan visi pertumbuhan ekonomi 8 persen wajar dilakukan, namun penting memastikan agar ambisi iklim tidak dikompromikan demi agenda ekonomi jangka pendek, seperti hilirisasi batu bara menjadi dimetil eter (DME).

Di saat Kamboja dan Singapura telah menyerahkan NDC terbaru mereka, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa komitmen Presiden bukan sekadar retorika.

Penyampaian SNDC akan menjadi pembuktian bahwa Indonesia benar-benar siap memainkan peran kepemimpinan dalam transisi energi global.

Kepemimpinan Hijau

Pidato Presiden Prabowo di forum internasional mencerminkan tekad kuat Indonesia untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Namun, kebijakan domestik harus segera sejalan dengan visi tersebut. Sejumlah regulasi seperti Peraturan Pemerintah (PP) No 40/2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 masih menunjukkan dominasi energi fosil dalam bauran energi nasional.

Sebagai contoh, KEN terbaru menargetkan porsi energi terbarukan hanya 19-23 persen pada 2030, lebih rendah dari target 23 persen pada 2025 yang ditetapkan KEN 2014.

Batu bara juga masih akan digunakan hingga 2060, sementara gas tetap mendominasi hingga 15,4 persen. Padahal, menurunkan porsi energi fosil secara signifikan akan membuka ruang lebih luas bagi ekspansi energi terbarukan secara cepat dan besar-besaran.
Tanpa revisi terhadap dokumen perencanaan tersebut, target 100 persen energi terbarukan akan sulit tercapai. Pemerintah perlu memastikan agar rencana strategis energi nasional benar-benar sejalan dengan visi jangka panjang transisi rendah karbon yang telah dijanjikan.

Keterlambatan penyampaian SNDC memang membawa risiko reputasi bagi Indonesia. Namun, kondisi ini juga bisa menjadi momentum penting untuk melakukan lompatan lebih besar.

Komitmen ambisius yang telah disampaikan di panggung internasional, termasuk kerja sama besar seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) akan bernilai nyata jika didukung oleh langkah konkret dan terukur.

Jika Presiden Prabowo benar-benar ingin meneguhkan peran Indonesia sebagai pemimpin hijau global, maka SNDC perlu dirancang secara ambisius, konsisten, dan selaras dengan Perjanjian Paris.

Dokumen itu tidak hanya akan menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam menurunkan emisi, tetapi juga menunjukkan bahwa transformasi menuju masa depan rendah karbon adalah bagian tak terpisahkan dari strategi pembangunan nasional. 

*) Program and Policy Manager Indonesia CERAH