OPINI

Keadaan Darurat Bencana dan Mekanisme Penyaluran Beras Bulog

Oleh: Khudori* 

Puluhan warga korban banjir dan longsor menjarah Gudang Bulog Sarudik di Kota Sibolga, Sumatra Utara. Dalam video yang banyak dibagikan di berbagai grup percakapan, warga membawa berkarung-karung beras dan minyak goreng. Bahkan anak-anak juga ikut memikul karung beras yang dibawa dari dalam gudang Bulog. Pemimpin Wilayah Bulog Sumatra Utara, Budi Cahyanto, membenarkan kejadian penjarahan oleh warga itu.

Penjarahan juga terjadi di sejumlah retail modern di Kota Sibolga dan beberapa wilayah lain. Penjarahan minimarket dan gudang Bulog diduga dipicu keterlambatan logistik bantuan akibat kondisi wilayah yang terisolasi. Bencana banjir dan longsor yang terjadi tidak hanya merenggut banyak korban jiwa dan luka, tapi juga merusak infrastruktur jalan. Ketika jalan putus atau rusak, distribusi logistik terganggu.

Bencana banjir dan longsor kali ini, untuk kesekian kalinya, menyadarkan otoritas yang berkuasa untuk menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Seharusnya, Indonesia yang memang identik dengan "negeri bencana" sudah terlatih menangani situasi darurat dalam berbagai skala. Namun, pengandaian itu tidak selalu benar. Terbukti kali ini otoritas yang berkuasa tampak kewalahan menghadapi situasi lapangan.
Bencana yang datang tiba-tiba, apalagi dengan skala kolosal, akan berbuah keadaan darurat. Dalam situasi darurat, prosedur normal akan macet. Dalam situasi darurat yang berlaku harus prosedur kedaruratan. Karena, kebutuhan makanan dan minuman untuk mengisi perut, tidak bisa menunggu. Kalau kebutuhan dasar itu tidak segera tersedia dan disediakan, bisa terjadi penjarahan seperti kali ini. Warga tak bisa disalahkan.

Pemerintah sebenarnya punya instrumen cadangan pangan pemerintah (CPP) yang setiap saat bisa digerakan untuk melayani kebutuhan bencana dan darurat, juga darurat pasca bencana. Bahkan, dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 30/2023 tentang Penyaluran CPP untuk Menanggulangi Bencana dan Keadaan Darurat, pangan yang bisa disalurkan ada sembilan jenis: beras, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan kembung. 

Masalahnya, prosedur penyaluran untuk bencana dan keadaan darurat dalam Peraturan Bapanas ini terbilang cukup panjang. Kental nuansa birokratisnya apabila dibandingkan dengan mekanisme penyaluran sebelumnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial No. 22/2019 tentang Prosedur dan Mekanisme Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk Penanggulangan Keadaan Darurat Bencana dan Kerawanan Pangan Pasca Bencana. Diduga, prosedur birokratis ini memperlambat penyaluran CBP ke warga.

Pada prosedur lama, kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) mengajukan permohonan penggunaan CBP untuk menanggulangi keadaan darurat bencana kepada Perum Bulog kantor wilayah/kantor cabang. Dalam pengajuan itu disertai data jumlah korban, penetapan status keadaan darurat bencana, dan penugasan kepada kepala dinas sosial daerah untuk penyaluran. Kemudian dilaporkan ke Menteri Sosial kala situasi memungkinkan dilengkapi administrasi yang dibutuhkan untuk menjaga tata kelola yang baik.
Bupati/wali kota memiliki hak mengeluarkan CBP 100 ton setahun. Sedangkan gubernur memiliki hak lebih besar: 200 ton setahun. Kalau kuota hak setahun ini masih kurang, kepala daerah bisa mengajukan tambahan penggunaan CBP. Selain darurat bencana, kepala daerah juga bisa menggunakan CBP untuk penanggulangan kerawanan pasca bencana. Bupati/wali kota mengajukan ke gubernur, gubernur lalu meneruskan ke Menteri Sosial. Tentu disertai kebutuhan, jangka waktu, dan jumlah korban.

Pada prosedur yang baru, kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) dan menteri atau kepala lembaga mengajukan penyaluran CPP kepada Kepala Bapanas. Surat pengajuan dilampiri jumlah penerima, organisasi pemda yang menyalurkan, dan kesanggupan menanggung biaya distribusi. Juga dilampiri penetapan status keadaan darurat bencana sesuai kewenangan. Bapanas menganalisis baru kemudian menugaskan ke Bulog.

Selain Bulog, Bapanas juga bisa menugaskan BUMN Pangan lain. Sebelum menugaskan penyaluran CPP kepada Bulog/BUMN Pangan dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 11 Ayat 2 Peraturan Bapanas No. 30/2023, Bapanas mesti mendapatkan persetujuan dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) atau Menteri BUMN jika menugaskan BUMN Pangan lain. Baru kemudian Bulog (pusat) memerintahkan pimpinan kantor wilayah/kantor cabang menyalurkan. Dalam praktik, bisa saja perintah Bapanas ke Bulog itu bersamaan dengan perintah Bulog pusat ke Bulog kantor wilayah/kantor cabang di daerah.

Dalam praktik penanganan tsunami di Aceh pada Desember 2004 dan gempa di Yogyakarta pada Mei 2006, gubernur, bupati/wali kota meminta Bulog menyalurkan CBP pada saat terjadi bencana. Saat itu komputer macet dan aliran listrik mati, boro-boro mencari mesin ketik. Otoritas berwenang hanya menuliskan permintaan CBP ke Bulog di kardus mi instan. Yang penting, ada yang mencatat baik-baik. Setelah situasi memungkinkan, pemda dan Bulog menyusun laporan. Saat itulah kebutuhan administrasi dilengkapi.
Intinya, berkaca dari kejadian tsunami Aceh dan gempa di Yogyakarta, taat prosedur tentu harus. Akan tetapi, kecepatan penanganan dengan menyesuaikan situasi lapangan harus jadi pilihan utama. Keterlambatan penyaluran bantuan, baik pangan, minuman maupun logistik lain, tidak saja bisa berujung penjarahan tapi juga mengancam keselamatan warga. Jangan sampai karena taat prosedur justru ada nyawa melayang.

Bencana dan keadaan darurat kali ini sebaiknya dijadikan momentum untuk mengevaluasi kembali mekanisme dan prosedur penggunaan dan penyaluran CPP. Mekanisme yang panjang dan prosedur yang kental nuansa birokratis harus dihindari, tentu dengan tetap mengedepankan aspek akuntabilitas. Tak ada salahnya mekanisme dan prosedur lama dipertimbangkan digunakan kembali dengan penyempurnaan di sana sini. 

*) Pengurus Pusat PERHEPI, Anggota Komite Ketahanan Pangan INKINDO, serta Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan AEPI