EKBIS

Setahun Prabowo-Gibran, Catatan INDEF di Bidang Ekonomi

Presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (kanan). Foto: Antara
Presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (kanan). Foto: Antara
apakabar.co.id, JAKARTA - Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) memandang dalam satu tahun kepemimpinannya, pemerintahan Prabowo– Gibran menunjukkan kemampuan menjaga stabilitas di tengah dinamika global yang kompleks, termasuk ketegangan geopolitik, perubahan iklim, percepatan teknologi, dan fluktuasi pasar keuangan. 

Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% (yoy) pada triwulan II-2025 mencerminkan ketahanan makroekonomi yang tetap terpelihara. Kendati demikian, sejumlah kebijakan pemerintah memunculkan perhatian publik, seperti pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), langkah efisiensi anggaran yang mempersempit ruang fiskal, serta penyesuaian belanja daerah yang berpotensi menekan aktivitas ekonomi.

Isu-isu tersebut menjadi penanda penting bagi arah kebijakan ekonomi nasional ke depan, sekaligus menguji konsistensi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas, pertumbuhan, dan keberlanjutan fiskal.
Peneliti Continuum INDEF, Wahyu Tri Utomo menyampaikan bahwa selama setahun menjabat, Presiden Prabowo tercatat sudah melakukan reshuffle sebanyak 3 (tiga) kali dengan total 10 menteri/pejabat selevel menteri yang diganti. 

Dalam hal kunjungan Presiden, hampir 70% kunjungan Presiden Prabowo merupakan lawatan ke luar negeri. Tingginya persentase ini, mencerminkan prioritas yang tinggi pada diplomasi global dan penguatan posisi strategis Indonesia di kancah internasional. Selain itu, Presiden Prabowo menunjukkan jangkauan yang jauh lebih Global. 

"Selain Asia, fokusnya meluas signifikan ke Eropa, Timur Tengah, dan Amerika," katanya dalam keterangan tertulis dikutip di Jakarta, Jumat (24/10).

Pemberantasan Korupsi menjadi program yang paling banyak diberitakan, sedangkan Makan Bergizi Gratis menjadi program yang paling disorot netizen dengan 183,723 perbincangan. Makan Bergizi Gratis juga menjadi program dengan sentimen negatif paling tinggi (76.9%), kasus keracunan hingga susunan pejabat di Badan Gizi Nasional menjadi sorotan. Sekolah rakyat menjadi program dengan sentimen positif paling tinggi (77.5%), program ini sangat membantu akses pendidikan keluarga miskin dan pelosok.
Secara umum, 62% netizen suarakan kritik tajam terhadap program Prabowo-Gibran. Kekhawatiran akan korupsi/penyalahgunaan anggaran negara menjadi salah satu yang utama, disetiap program dengan anggaran besar, netizen selalu khawatir akan terjadinya korupsi. Disisi lain banyaknya kasus korupsi yang terungkap juga diapresiasi netizen sebagai wujud bekerjanya pemberantasan korupsi. 

"Selain itu evaluasi dan pengawasan program Makan Bergizi Gratis perlu menjadi fokus karena program tersebut menjadi yang paling banyak dibahas dan sentimen negatif tertinggi," katanya.

Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto menyatakan bahwa kerja sama internasional yang semakin aktif dilakukan pemerintah perlu dipastikan mampu mengoptimalkan perekonomian Indonesia. 

Oleh karena itu perlu strategi untuk menangani tantangan dalam hubungan dengan Amerika Serikat (AS), Tiongkok (China), dan BRICS, yang mencakup diversifikasi mitra strategis, penguatan ketahanan ekonomi domestik, dan tata kelola yang transparan dalam kerjasama Belt and Road Initiative (BRI). 

"Adapun tantangan utama yang dimaksud adalah proteksionisme AS, ketergantungan ekonomi yang besar pada Tiongkok (China), dan persaingan antar anggota BRICS," katanya.
Selanjutnya, terkait dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang banyak mendapat sentiment negatif dari Netizen, program ini memerlukan pembenahan menyeluruh, terutama terkait banyaknya kasus keracunan makanan dan besarnya alokasi anggaran. Strateginya perlu standardisasi dan sertifikasi ketat, rasionalisasi target, realokasi anggaran jika pelaksanaan tidak sesuai target, serta transparansi untuk mitigasi risiko korupsi. 

"Terakhir, untuk isu Danantara (SWF Indonesia) terdapat 2 aspek yang perlu diperhatikan, yaitu 1) dampak makroekonomi pada pasar keuangan domestik, serta 2) aspek kelembagaan (governance, transparansi), yang mana perlu mengadaptasi praktik tata kelola SWF global 'Santiago Principles'," paparnya.

Ekonom Senior INDEF, M. Fadhil Hasan menilai bahwa perbandingan antarhasil survei terkait kinerja satu tahun pemerintahan Prabowo Gibran tidak dapat dilakukan secara langsung karena setiap lembaga menggunakan metode yang berbeda, baik berbasis opini publik, penilaian ahli, maupun big data media sosial. Kajian INDEF sendiri merupakan analisis independen terhadap capaian ekonomi pemerintah, bukan bantahan atas hasil survei lain. 

Secara umum, kata Fadhil, indikator makroekonomi menunjukkan stabilitas dengan pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen, inflasi di bawah tiga persen, dan penurunan tingkat pengangguran terbuka. Namun, para ekonom menilai belum terjadi perubahan struktural yang signifikan. 

"Stabilitas yang tercapai dianggap sebagai kelanjutan dari kebijakan sebelumnya, bukan hasil dari reformasi baru yang mampu mendorong akselerasi pertumbuhan," ungkapnya.

Fadhil menyoroti adanya kesenjangan persepsi antara klaim pemerintah dan pandangan publik. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi contoh konkret, di mana pemerintah menganggap program ini berhasil menjangkau banyak penerima manfaat, sementara publik menyoroti efektivitas dan pemerataannya. 
Kebijakan fiskal ekspansif dinilai mampu menjaga daya beli, namun belum cukup efektif mendorong produktivitas dan investasi jangka panjang. Investasi dalam negeri meningkat, tetapi arus investasi asing langsung justru melambat, menandakan iklim investasi yang belum sepenuhnya kondusif. 

"Struktur ekspor pun masih bergantung pada komoditas primer seperti CPO, batu bara, dan nikel, sementara sektor hilirisasi belum menunjukkan kemajuan berarti," terangnya.

Melalui pendekatan big data terhadap delapan program prioritas (Asta Cita), INDEF menemukan bahwa hilirisasi menjadi sektor dengan sentimen negatif tertinggi kedua setelah MBG. Ketidaksesuaian persepsi publik ini juga terlihat pada Kementerian ESDM yang mendapat sentimen negatif meski memiliki sejumlah capaian penting. 

Menurut Fadhil, hal ini mencerminkan lemahnya strategi komunikasi publik pemerintah dalam mengelola persepsi dan eksposur hasil kerja. Ia menekankan bahwa evaluasi kinerja satu tahun pertama seharusnya mempertimbangkan konteks waktu yang singkat serta perlunya penilaian yang lebih seimbang antara hasil faktual dan persepsi publik.