OPINI

Tantangan Transportasi Samarinda Menuju Metropolitan

Foto ilustrasi transportasi publik di kota metropolitan DKI Jakarta. Foto: Antara
Foto ilustrasi transportasi publik di kota metropolitan DKI Jakarta. Foto: Antara
Oleh: Tiopan H.M. Gultom (Dosen Unmul dan Ketua MTI Kaltim), Tory Damantoro (Ketum MTI)

Kota Samarinda sedang mengalami transformasi signifikan menuju status kota metropolitan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dan konsep pengembangan perkotaan BAPPENAS. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang mencapai ±99.000 unit per tahun atau 9-10% setiap tahunnya telah menciptakan tekanan luar biasa pada infrastruktur jalan. Total Panjang yang berada di Kota Samarinda dari tahun ke tahun tidak banyak bertambah, hingga tahun 2025 total panjang jalan adalah 881,30 Km, sedangkan rasio kendaraan terhadap panjang jalan sebesar 1.150 kendaraan/km.

Kondisi ini diperparah dengan tingginya hambatan samping di pusat ekonomi yang semakin mengurangi kapasitas jalan. Akar permasalahannya terletak pada belum hadirnya sistem transportasi massal yang mapan dan efektif yang dapat menjadi alternatif nyata dari kendaraan pribadi. Hasil studi indeks kesejahteraan berdasarkan infrastruktur pada Kota Samarinda tahun 2024, diketahui bahwa Kota Samarinda termasuk kedalam kategori tidak sejahtera.

Tabel Indeks kesejahteraan Kota Samarinda berdasarkan Infrastruktur. Sumber: Maryo Inri, 2024

Salah satu rekomendasi dari penelitian ini adalah pemerintah diminta untuk meningkatkan mobilitas masyarakat dengan cara memperbaiki prasarana dan sarana transportasi massa.

Prinsip Dasar Transportasi Massal yang Berkelanjutan

Dalam perspektif perencanaan transportasi berkelanjutan, sistem angkutan umum yang ideal harus memenuhi sepuluh prinsip operasional transportasi massa. Prinsip-prinsip ini mencakup pergerakan efisien yang memanfaatkan ruang, waktu, dan energi secara optimal; aksesibilitas universal tanpa diskriminasi; tarif terjangkau dengan kemampuan masyarakat usia 15-20 tahun sekitar Rp 10.000/hari; keandalan waktu dengan minimal keterlambatan; keselamatan dan keamanan penumpang; integrasi antarmoda yang mulus dengan tarif tunggal atau cashless; keberlanjutan lingkungan dengan mengurangi polusi udara dan emisi gas rumah kaca; kenyamanan dan kemudahan dengan sistem informasi digital; kemampuan berkembang menyesuaikan pertumbuhan penduduk dan permintaan; serta keadilan sosial dengan akses merata ke semua wilayah.
Survei tahun 2024 mengungkapkan faktor penentu masyarakat memilih atau menggunakan angkutan umum meliputi waktu perjalanan dan tunggu yang kompetitif dengan motor/ojek online, keandalan dan frekuensi layanan dengan jadwal yang pasti, aksesibilitas dan cakupan rute yang dekat dengan rumah/kantor/pusat aktivitas, keterjangkauan tarif yang sebanding dengan biaya operasional kendaraan pribadi, kenyamanan dan keamanan selama perjalanan, citra dan persepsi sosial yang positif, integrasi dengan moda lain yang mudah, serta kondisi lalu lintas dan prioritas jalan yang mendukung.

Analisis Kelayakan BRT: Pilihan Terbaik untuk Samarinda

Berdasarkan kajian komparatif mendalam terhadap berbagai moda transportasi metropolitan - MRT, LRT, Commuter Line, dan BRT - dengan mempertimbangkan karakteristik kota Samarinda, BRT muncul sebagai pilihan paling realistis dan solutif. Analisis kapasitas menunjukkan BRT yang dibangun sesuai standar jalur utama mampu menampung 3.000-45.000 penumpang per jam per arah, setara dengan kapasitas KRL atau commuter line di arah bogor. Moda ini sangat memadai untuk melayani koridor utama Samarinda.

Tabel Perbandingan KA/KRL, MRT, LRT, BRT

Dari aspek biaya, BRT menawarkan efisiensi signifikan baik dalam konstruksi maupun pemeliharaan. Data Transit Costs Project 2025 menunjukkan biaya konstruksi BRT jauh lebih rendah dibandingkan sistem berbasis rel, sementara contoh nyata dari Bogotá Trans Milenio membuktikan biaya pemeliharaan tahunan BRT jauh lebih murah dari metro. Fleksibilitas pengembangan rute BRT juga lebih unggul, memungkinkan penyesuaian dengan pertumbuhan kota tanpa investasi infrastruktur sebesar sistem rel.

Dampak sosial-ekonomi BRT mencakup penyerapan tenaga kerja signifikan sebesar 10-20 orang per km jalur, kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja lokal, serta implementasi yang lebih cepat dengan dampak langsung terhadap peningkatan mobilitas masyarakat. Dengan mempertimbangkan ukuran kota, karakteristik permintaan perjalanan, dan kemampuan fiskal daerah, BRT menjadi pilihan strategis yang memenuhi prinsip value for money.

Strategi Implementasi Lima Pilar Terintegrasi

Pertama, Aspek Teknis Terintegrasi dengan Pendekatan Ekosistem. Infrastruktur BRT dirancang dengan jalur khusus steril yang terproteksi dari gangguan kendaraan lain, memanfaatkan konversi median eksisting di tengah jalan dengan penempatan penghijauan di kiri kanan jalan. Integrasi antarmoda dilakukan melalui pembangunan skybridge, pelican cross, dan pelebaran pedestrian yang tidak hanya untuk penghijauan tetapi juga menciptakan interaksi pejalan kaki yang lebih humanis. Penerangan Jalan Umum (PJU) diperbaiki khususnya di lokasi halte BRT untuk meningkatkan keamanan.

Sistem sarana menggunakan bus berukuran tepat dengan pelat dak rendah untuk aksesibilitas universal bagi anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Headway ketat maksimal 15 menit dan tarif kompetitif dengan BOK kendaraan sepeda motor pada jarak tempuh sama menjadi daya tarik utama. Yang krusial, BRT harus menjadi tulang punggung sistem transportasi terintegrasi yang dilengkapi dengan layanan angkutan pengumpan (feeder) dan solusi first and last mile berbasis teknologi.
Angkutan kota berfungsi sebagai feeder dari perumahan ke halte BRT, didukung kajian rerute untuk meningkatkan mobilitas masyarakat. Pemanfaatan aplikasi digital terpadu untuk perencanaan perjalanan, pembayaran non-tunai, dan informasi real-time menjadi kunci menciptakan efisiensi operasional dan meningkatkan ridership secara signifikan.

Kedua, Aspek Pendanaan Berkelanjutan dengan Skema Kreatif. Komitmen pendanaan jangka panjang sesuai Rencana Induk Masterplan yang komprehensif - mencakup aspek layanan, prasarana, dan sarana - menjadi fondasi utama keberhasilan BRT. Skema pembiayaan meliputi Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk investasi bus, halte, dan teknologi tiket; alokasi APBN/APBD yang konsisten; serta pendanaan inovatif melalui pajak parkir, congestion charge, atau carbon tax yang dapat mendukung sustainability operasional.

Indikator keberhasilan finansial ditargetkan pada Farebox Recovery Ratio (FRR) 60-80% yang menandakan sistem sehat dan efisien, di mana pendapatan tarif hampir menutupi biaya operasi. Pencapaian FRR ini menjadi tolok ukur efisiensi sistem sekaligus daya tarik bagi investor. Subsidi pemerintah daerah difokuskan sebagai Public Service Obligation (PSO) untuk menjaga tarif terjangkau, dengan tetap mendorong peningkatan FRR secara bertahap melalui optimalisasi operasi dan peningkatan jumlah penumpang.

Ketiga, Aspek Kelembagaan yang Kuat dengan Pembagian Peran yang Jelas. Keberhasilan BRT memerlukan struktur kelembagaan yang jelas dengan pembentukan dua lembaga khusus: lembaga pelaksana masterplan pembangunan yang menjaga konsistensi implementasi rencana induk, dan lembaga independen untuk operasi dan manajemen BRT yang bentuknya dapat berupa BLUD atau BUMD.
Model kelembagaan ini memastikan adanya spesialisasi fungsi antara pembangunan dan operasional, dengan kewenangan mengkoordinasikan seluruh operator dalam sistem terpadu dan mencegah tumpang tindih kewenangan. Lembaga pengelola BRT harus memiliki kapasitas dan kewenangan yang memadai untuk menjalankan fungsi regulasi, operasi, dan pengembangan sistem secara terintegrasi.
Keempat, .⁠ ⁠Aspek Peraturan Penunjang yang Komprehensif. Kerangka regulasi komprehensif meliputi: regulasi tata ruang yang mensinkronkan jalur BRT dengan RTRW agar mendukung pusat-pusat kegiatan kota; regulasi lalu lintas dengan penegakan ETLE untuk pelanggaran di jalur bus; regulasi operasional dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) mencakup ketepatan waktu, frekuensi, kapasitas bus, kenyamanan, dan aksesibilitas; regulasi tarif dan subsidi dengan skema subsidi silang dan pembayaran non-tunai; serta regulasi lingkungan yang mendorong penggunaan bus listrik, energi ramah lingkungan, dan pengelolaan limbah yang bertanggung jawab. Regulasi harus menjamin keberlanjutan operasional dan perlindungan terhadap investasi publik dalam jangka panjang.

Kelima, Aspek Tata Kelola dan Manajemen Kinerja yang Akuntabel. Dibutuhkan sistem tata kelola yang menjamin keberlanjutan kualitas dan daya saing BRT terhadap kendaraan pribadi melalui pengukuran kinerja berkelanjutan. Mekanisme ini mencakup monitoring indikator kinerja utama (key performance indicators) seperti ketepatan waktu, tingkat kepuasan penumpang, rasio operasional, dampak terhadap pengurangan kemacetan, dan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Sistem manajemen kinerja menjadi dasar perbaikan berkelanjutan dan akuntabilitas publik, dengan sertifikasi dan pelatihan berkelanjutan bagi pengemudi BRT, serta manajemen armada yang mencakup peremajaan bus setiap 10-15 tahun untuk menjaga kualitas pelayanan.

Menuju Samarinda yang Terhubung dan Berkelanjutan

Kehadiran Pemerintah untuk menyediakan layanan transportasi massa untuk Masyarakat Kota Samarinda diharapkan dapat juga menekan biaya transportasi yang telah mencapi Rp. 2.000.000 /KK. Angka ini setara dengan 40% dari pendapatan per Keluarga diasumsikan Rp. 5.000.000.

Implementasi BRT dengan pendekatan lima pilar ini bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan transformasi menuju ekosistem mobilitas perkotaan yang terintegrasi, cerdas, dan berkelanjutan. Dengan komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan - pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat - BRT akan menjadi nadi transportasi Samarinda yang tidak hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kualitas hidup, mewujudkan keadilan sosial, dan mengurangi dampak lingkungan.

Keberhasilan BRT di Samarinda akan menjadi bukti nyata bahwa kota metropolitan yang maju dan kompetitif berawal dari sistem transportasi yang manusiawi, terjangkau, berkelanjutan, dan terintegrasi. Melalui kolaborasi, inovasi, dan komitmen kuat, mari kita wujudkan bersama Samarinda yang terhubung, Samarinda yang maju, Samarinda yang berkelanjutan untuk generasi mendatang. Perjalanan menuju Samarinda Maju dimulai dari satu langkah nyata: implementasi BRT yang komprehensif dan berkelanjutan.