OPINI
Mitigasi Risiko Perekonomian Global
Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf*
Chief Global Economist J.P. Morgan, Bruce Kasman menyatakan bahwa risiko terbesar perekonomian global tahun 2026 bersumber dari penurunan konsumsi di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan China. Pada saat yang sama upah mengalami penurunan dibarengi dengan inflasi tinggi akibat Trade War 2.0 antara AS dengan China.
Perekonomian AS dan China berkontribusi hampir separuh dari perekonomian global, yaitu sekitar 45 persen dari Gross Domestic Product (GDP) harga konstan global tahun 2024. Perekonomian AS berkontribusi sekitar 26 persen dan China sekitar 19 persen.
Meskipun demikian, J. P. Morgan memproyeksikan bahwa probabilitas terjadinya resesi hanya sebesar 35 persen pada tahun 2026. Hal ini disebabkan oleh kebijakan stimulus fiskal untuk mendongkrak konsumsi, baik di negara maju maupun di Emerging Market Economies (EMEs).
Risiko Utama Global
Risiko utama perekonomian global tahun 2026 juga bersumber dari kebijakan tarif AS yang membawa perekonomian global memasuki fase baru, yaitu fase proteksionisme baru (new protectionism) dan meningkatnya kecenderungan blok perdagangan antara AS dan Uni Eropa (UE) berhadapan dengan China dan Rusia.
Akibatnya, pertumbuhan perdagangan global diperkirakan akan mengalami penurunan yang sangat signifikan, yaitu dari 2,4 persen tahun 2025 menjadi hanya 0,5 persen tahun 2026 secara tahunan (year–on–year).
Risiko utama perekonomian global juga bersumber dari inflasi tinggi, terutama di negara-negara maju seperti AS. Hal ini tidak memberi ruang bagi The Fed, bank sentral AS dan bank sentral negara-negara maju lainnya melanjutkan tren penurunan suku bunga acuan (policy rate). Perekonomian global tahun 2026 masih akan berada dalam rezim suku bunga tinggi.
Hasil perhitungan yang dilakukan oleh The Fed (2025) dalam kasus perekonomian AS menunjukkan bahwa peningkatan 10 persen biaya perdagangan global yang disebabkan oleh kenaikan tarif terhadap intermediate goods (barang input) akan meningkatkan inflasi Consumer Price Index (CPI) sebesar 0,3 persen.
Sementara, pengenaan tarif 10 persen terhadap barang jadi (final goods) akan menaikkan CPI inflation sebesar 0,5 persen. Namun, jika tarif 10 persen dikenakan terhadap impor barang setengah jadi dan barang jadi secara bersamaan maka CPI inflation akan naik sebesar 0,8 persen.
Selain itu, perekonomian global juga menghadapi risiko fiskal akibat peningkatan utang pemerintah. Hal ini, sejalan dengan Ray Dalio dalam buku “How Countries Go Broke, The Big Cycle” menyatakan bahwa terdapat kecenderungan utang global akan terus meningkat yang mendongkrak risiko fiskal.
Investor global, Ray Dalio memperkenalkan konsep “the big debt cycle”, yaitu pada saat utang naik, pengeluaran naik dan harga asset menjadi tinggi. Pada saat yang sama para investor memperoleh benefit tercermin pada kenaikan pendapatan.
Namun, pada saat jatuh tempo pembayaran utang membuat pengeluaran menurun dan harga asset juga turun secara signifikan. Akibatnya, pendapatan dari asset produktif juga mengalami penurunan. Investor merasa situasi ekonomi lebih buruk.
Fenomena ini membuat pertumbuhan utang pemerintah sebagai persentase terhadap GDP meningkat sangat signifikan. Sebagai contoh, rasio utang pemerintah AS terhadap GDP telah mencapai 123 persen, Jepang jauh lebih tinggi sekitar 235 persen, Singapura sebesar 175 persen, Inggris 104 persen dan lainnya (IMF, 2025).
Peningkatan risiko perekonomian global tahun 2026 berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi global tahun 2026, yaitu diperkirakan tumbuh sekitar 2,6 persen. Lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sebesar 2,9 persen (UNCTAD, 2025).
Proyeksi pelambatan pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 dan 2026 sejalan dengan kecenderungan pelambatan pertumbuhan ekonomi global selama dua dekade terakhir. Di mana rata-rata pertumbuhan ekonomi global periode 2004 – 2007 sekitar 4,4 persen, turun menjadi 3,0 persen pada periode 2011 – 2019 dan 2,7 persen pada periode 2023 – 2026.
Tren pertumbuhan ekonomi global sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi China sebagai perekonomian terbesar kedua dunia, yaitu dari rata-rata lebih besar 10 persen selama periode 2004 – 2011 menjadi hanya 5,0 persen selama periode 2023 – 2026. Bahkan perekonomian China mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 14,2 persen tahun 2007.
Hal yang sama juga dialami oleh perekonomian AS sebagai perekonomian terbesar dunia, yaitu mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dari 3,8 persen tahun 2004 menjadi sekitar 2,9 persen tahun 2023, sekitar 2,8 persen tahun 2024, lalu diperkirakan kembali melambat menjadi 1,8 persen tahun 2025 dan 1,5 persen tahun 2026.
Perekonomian UE juga mengalami kecenderungan yang sama, yaitu tumbuh sekitar 3,6 persen tahun 2022, lalu turun menjadi 0,4 persen tahun 2023 karena perang Ukraina, selanjutnya diproyeksi menjadi 1,3 persen tahun 2025 dan 1,4 persen tahun 2026.
Pola yang sama juga terjadi di negara-negara EMEs (di luar China), yaitu tumbuh sekitar 6,5 – 7,1 persen periode 2004 – 2007, menurun menjadi 3,8 persen paska pandemi Covid-19 pada tahun 2023, lalu menjadi 3,7 persen tahun 2024, dan diperkirakan stagnan sekitar 3,7 persen tahun 2025 – 2026 (UNCTAD, 2025).
Mitigasi Risiko Global
Sementara dalam kasus Indonesia, kecenderungannya juga sama, yaitu mengalami pertumbuhan rata-rata 6,0 persen selama periode 2004 – 2007, lalu menurun menjadi 4,5 persen tahun 2009 karena krisis keuangan global. Selanjutnya, dengan kebijakan kontra-siklus yang tepat, pertumbuhan ekonomi nasional kembali naik menjadi sekitar 6,0 persen tahun 2010 – 2013.
Sejak periode 2014 – 2024, kecenderungan pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali mengalami penurunan, yaitu menjadi hanya sekitar 5,0 persen. Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 4,9 – 5,1 persen pada tahun 2025 dan 2026.
Potensi pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2026 akibat meningkatnya risiko perekonomian global menjalar melalui dua saluran (chanel), yaitu: pertama, jalur pelambatan ekspor yang membuat net export (NX) menurun bahkan berpotensi bernilai negatif. Kedua, jalur penurunan aliran investasi global yang menyebabkan realisasi investaasi di dalam negeri melambat.
Berdasarkan data GDP dari sisi pengeluaran menunjukkan bahwa kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 1,59 persen dari total pertumbuhan ekonomi sebesar 5,04 persen pada kuartal III tahun 2025.
Sementara net export sebagai selisih antara ekspor dan impor berkontribusi sekitar 0,24. Sehingga, secara bersama-sama, investasi dan NX berkontribusi sebesar 1,83 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional selama dua dekade terakhir pada tahun 2026? Dalam jangka pendek, melanjutkan paket stimulus fiskal untuk mengabsorbsi tekanan terhadap perekonomian nasional yang bersumber dari perekonomian global.
Stimulus fiskal diarahkan untuk mempertahankan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Hal ini sesuai fakta bahwa pertumbuhan ekonomi nasional selalu sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Di mana, lebih dari separuh pertumbuhan GDP dari sisi pengeluaran disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga, sekitar 2,54 persen dari 5,04 persen pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun 2025.
Kemudian dari sisi moneter, mempertahankan agar suku bunga riil, yaitu selisih antara BI rate (policy rate) dengan inflasi tetap terjaga. Hal ini untuk menjaga agar asset berdenominasi rupiah, seperti yield dan harga surat berharga negara tetap menarik bagi investor asing.
Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah dituntut untuk fokus mengatasi secara radikal dan revolusioner masalah-masalah pada sisi produksi (supply side) dengan “supply side revolution”. Salah satunya, mengurangi “technology gap” atau “knowledge gap” dis ektor manufaktur dengan negara maju.
Selain itu, agenda kebijakan yang sangat penting dan mendesak adalah pemerintah harus fokus mengatasi kelemahan pada “institutional factor”, khususnya yang berkaitan dengan transaction cost (biaya transaksi) tinggi yang menyebabkan inefisiensi ekonomi yang tergambar pada nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang sangat tinggi. Tertinggi di antara negara-negara ASEAN.
Akhir kata, pemerintahan Prabowo perlu belajar kepada AS, UE, Jepang, Korea dan lainnya yang mencapai status negara maju dengan sistem ekonomi pasar (kapitalis). Termasuk belajar pada kisah sukses China dengan model ekonomi hybrid, yaitu beyond socialism and capitalism.
Pengalaman mengajarkan bahwa model ekonomi barat dan timur (China) yang sukses membawa kemakmuran dengan pendapatan per kapita tinggi karena menempatkan penegakan hukum yang sangat kuat sebagai fondasi kemajuan ekonomi.
*) Dosen FEB Universitas Hasanuddin dan Chairman ASEAN Competition Institute
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY




