LINGKUNGAN HIDUP

Banjir Bandang Sumatera Utara: Alarm atas Rusaknya Ekosistem Batang Toru

Banjir bandang yang melanda tujuh kabupaten di Sumatera Utara pada Selasa, 25 November 2025, meninggalkan duka mendalam bagi ribuan warga.
Penampakan lokasi PLTA Batang Toru. Foto: ANTARA
Penampakan lokasi PLTA Batang Toru. Foto: ANTARA
apakabar.co.id, JAKARTA - Banjir bandang yang melanda tujuh kabupaten di Sumatera Utara pada Selasa, 25 November 2025, meninggalkan duka mendalam bagi ribuan warga. Bencana tersebut juga berdampak pada wilayah Aceh dan Sumatera Barat

Satya Bumi menyampaikan belasungkawa sekaligus berharap proses evakuasi, pencarian korban, dan penanganan darurat dapat berjalan lancar dan menjadi prioritas pemerintah.

Di balik musibah tersebut, Juru Kampanye Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi, menegaskan bahwa banjir kali ini bukan hanya dipicu oleh cuaca ekstrem dan siklon tropis. Kerusakan ekosistem yang telah terjadi selama bertahun-tahun memperparah dampaknya. 

Banjir terbesar tercatat di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah—wilayah yang berada dalam bentang Ekosistem Batang Toru. Kawasan ini seharusnya menjadi pusat konservasi, habitat satwa langka, dan penyangga kehidupan masyarakat, namun justru mengalami degradasi yang terus berlanjut.

Kerusakan di hulu sungai, kata Riezcy, terutama akibat penebangan besar-besaran dan pembukaan lahan tanpa pengelolaan berkelanjutan, telah mengurangi kemampuan tanah menyerap air. Saat hujan ekstrem turun, air mengalir sangat cepat dan membawa potongan kayu dari hulu. 

"Aliran deras inilah yang memicu banjir bandang dan merusak rumah, infrastruktur, serta lahan pertanian warga," ujar Riezcy di Jakarta, Sabtu (29/9).

Menurut Riezcy, video-video yang beredar menunjukkan derasnya aliran sungai yang disertai potongan kayu dari kawasan hulu Batang Toru. Hutan yang rusak membuat tanah tidak stabil dan rawan longsor. 

“Tanpa pohon yang berfungsi sebagai penahan air dan pengikat tanah, limpasan hujan akan menjadi lebih berbahaya,” ujarnya.

(Peta ekspansi lahan di dalam tambang emas Martabe tahun 2024-2025: Foto: Satya Bumi)

Ekspansi industri dan hilangnya tutupan hutan
Ekosistem Batang Toru merupakan satu-satunya habitat Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies yang sangat langka. Namun keberadaan hutan terus tergerus oleh aktivitas industri, terutama tambang emas Martabe yang telah beroperasi sejak 1997. Meskipun luas konsesi telah berkurang, pembukaan hutan tetap berlangsung.

Data menunjukkan bahwa PT Agincourt Resources terus memperluas area operasionalnya. Pada Januari 2022, ekspansi mencapai 509 hektar, kemudian meningkat menjadi 555,93 hektar pada 2024, dan 603,21 hektar pada Oktober 2025. 

Sebagian besar merupakan hutan alami yang hilang akibat kegiatan tambang. Perusahaan juga merencanakan pembangunan fasilitas penampungan tailing (TMF) seluas 583 hektar, yang berpotensi menghilangkan lebih dari 185 ribu pohon. 

Riezcy menegaskan bahwa rencana tersebut jelas menunjukkan deforestasi yang diketahui dan disetujui negara.

Selain tambang, pembangunan PLTA Batang Toru yang akan selesai pada akhir 2025 belum mampu mengantisipasi lonjakan debit air dari hulu. Infrastruktur baru di kawasan sensitif ini justru meningkatkan risiko ketika hutan telah rusak dan daya tampung sungai berubah. 

Tidak hanya itu, terang Riezcy, sejumlah proyek besar lain seperti PLTMH, geothermal, industri pulp, dan perkebunan sawit juga menambah tekanan terhadap ekosistem.

(Peta gempa di sekitar ekosistem Batang Toru. Foto: Yayasan Ekosistem Lestari)

Risiko bencana berlapis
Ekosistem Batang Toru tidak hanya rawan banjir, tetapi juga berada di wilayah dengan aktivitas kegempaan tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa kawasan ini dekat dengan patahan aktif dan memiliki potensi gempa berkekuatan besar. 

Studi Kelayakan PT Agincourt Resources pada 2017 bahkan mencatat bahwa lokasi tambang berada dalam zona risiko tinggi dengan percepatan tanah hingga 0,34 g.

Kombinasi deforestasi, pembangunan industri besar, dan kondisi geologis yang sensitif menciptakan risiko berlapis. Ketika ruang resapan hilang dan tanah melemah, potensi banjir bandang dan longsor meningkat tajam. Hal inilah yang kini dirasakan oleh masyarakat Tapanuli dan sekitarnya.

Senada, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Utara dan Jaringan Advokasi Masyarakat Marjinal (JAMM) menilai kondisi ini menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap ruang hidup warga. 

Menurut Ketua DPW SHI Sumut, Hendra Hasibuan, kerusakan ekologis juga berdampak sosial. “Ketahanan pangan melemah, masyarakat kehilangan lahan, dan budaya yang terkait hutan ikut tergerus,” tegasnya.

Ia mendesak pemerintah menghentikan ekspansi industri ekstraktif, termasuk melakukan audit menyeluruh atas seluruh izin usaha, serta memulihkan kawasan hulu melalui rehabilitasi berbasis masyarakat. 

“Ekosistem Batang Toru pernah menjadi benteng kehidupan. Ia masih bisa diselamatkan jika negara berani menata ulang arah pembangunan,” tegasnya.

Lebih jauh ketiga lembaga, Satya Bumi, SHI Sumut, dan JAMM menyerukan agar pemerintah menjadikan bencana ini sebagai peringatan serius. Mereka menuntut penghentian sementara ekspansi sawit dan industri ekstraktif yang berpotensi merusak DAS Batang Toru.

Selanjutnya mendesak pemulihan kawasan hulu melalui rehabilitasi hutan berbasis masyarakat dan penguatan hak kelola rakyat dan perlindungan ruang hidup masyarakat lokal.

Terakhir meminta dibangunnya sistem peringatan dini dan mitigasi bencana yang lebih memadai. Pasalnya, bencana telah menjadi pengingat bahwa kerusakan alam bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga persoalan kemanusiaan. 

Perbaikan tata kelola hutan dan pembangunan berkelanjutan menjadi kebutuhan mendesak agar tragedi serupa tidak terus terulang. 

Susah saatnya, izin industri ekstraktif dan alih fungsi lahan di sekitar Batang Toru di tata ulang, karena ada masyarakat yang menanggung dampak terburuk dari setiap kerusakan yang terjadi.