LINGKUNGAN HIDUP

Penghargaan Adiwiyata 2025, Menteri LH Hanif Dorong Sekolah Lebih Peduli Lingkungan

Penyerahan Penghargaan Adiwiyata Mandiri dan Adiwiyata Nasional Tahun 2025 di Jakarta, Kamis (11/12).
Penyerahan Penghargaan Adiwiyata Mandiri dan Adiwiyata Nasional Tahun 2025 di Jakarta, Kamis (11/12).
apakabar.co.id, JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup  (LH) Hanif Faisol Nurofiq menegaskan pentingnya pendidikan lingkungan sebagai fondasi masa depan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Hal itu ia sampaikan dalam acara Penyerahan Penghargaan Adiwiyata Mandiri dan Adiwiyata Nasional Tahun 2025 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Kamis (11/12).

Hanif menyampaikan apresiasi  kepada pemerintah daerah, kepala sekolah, serta para pendidik yang selama ini konsisten mendorong budaya peduli lingkungan di satuan pendidikan. 

“Tidak mudah bagi para bupati dan wali kota, di tengah kesibukan mereka, untuk terus menumbuhkan semangat kedaulatan lingkungan dalam pendidikan anak-anak kita,” ujar Hanif.

Hanif juga menyinggung suasana duka pascabencana banjir, longsor, dan gelombang ekstrem yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ia menyebut bencana beruntun itu sebagai “kalibrasi alam” atas praktik pembangunan yang belum sepenuhnya ramah lingkungan.

“Kerugian akibat bencana di Sumatera bagian utara mencapai hampir Rp62 triliun. BNPB melaporkan biaya pemulihan saja mencapai Rp52 triliun. Apa yang kita bangun bisa hancur hanya dalam tiga malam,” tegasnya.

Hanif menuturkan kondisi landscape di beberapa wilayah kini tak lagi mampu menahan intensitas perubahan iklim, termasuk curah hujan ekstrem. Di Sumatera Utara, ia menyebut curah hujan hingga 450 mm hanya dalam tiga hari—setara lebih dari satu bulan hujan turun sekaligus.

Pertumbuhan Sekolah Adiwiyata, Masih Jauh dari Target

Pada 2025, terdapat 258 sekolah memperoleh Adiwiyata Mandiri dan 721 sekolah meraih Adiwiyata Nasional. Total 979 sekolah penerima penghargaan meningkat 35,8% dibanding 720 sekolah pada 2024.

Namun Hanif menekankan, capaian itu masih sangat kecil dibanding total jumlah sekolah di Indonesia yang mencapai lebih dari 450 ribu unit—termasuk sekolah dasar, menengah, dan sekolah berbasis agama. Sejak Adiwiyata dicanangkan pada 2009, baru sekitar 3.500 sekolah yang masuk kategori Adiwiyata.

“Selama 16 tahun, rata-rata hanya 218 sekolah per tahun yang berhasil mencapai predikat Adiwiyata. Kalau ritme ini diteruskan, kita butuh 2.000 tahun untuk memastikan seluruh sekolah menerapkan budaya lingkungan. Ini tidak boleh kita biarkan,” ujarnya.

Hanif meminta kepala daerah gubernur, bupati, wali kota turut aktif mendorong adopsi program Adiwiyata secara lebih masif, bukan hanya mengandalkan Kementerian LHK.

Ia mengakui beban kurikulum sekolah saat ini sudah berat, namun penanaman karakter peduli lingkungan tetap harus dilakukan sejak pendidikan dasar.

“Kalau sudah besar, membengkokkan batang itu pasti patah. Karena itu, saat terbaik membentuk karakter adalah saat sekolah dasar hingga menengah,” katanya.

Hanif mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan besar yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, dari peningkatan curah hujan ekstrem hingga naiknya permukaan air laut di pesisir Jawa.

Adiwiyata, lanjut Hanif, bukan sekadar penghargaan simbolik, tetapi pengingat bahwa sekolah harus menjadi pilar utama pembangunan berkelanjutan.

“Alam telah melakukan kalibrasi. Kita tidak bisa lagi menunda. Pendidikan lingkungan harus menjadi bagian penting bagi generasi yang sedang tumbuh,” tegasnya.