LINGKUNGAN HIDUP

Greenpeace Sebut Banjir Sumatera Bukti Gagalnya Tata Kelola Hutan Pemerintahan Prabowo

Greenpeace Indonesia bersama KSPPM–organisasi masyarakat sipil di Sumatera Utara–menggelar aksi bentang banner di Danau Toba, bertepatan dengan konferensi W20. Aksi damai ini merupakan bentuk dukungan Greenpeace dan KSPPM untuk perempuan adat yang menjaga
Greenpeace Indonesia bersama KSPPM–organisasi masyarakat sipil di Sumatera Utara–menggelar aksi bentang banner di Danau Toba, bertepatan dengan konferensi W20. Aksi damai ini merupakan bentuk dukungan Greenpeace dan KSPPM untuk perempuan adat yang menjaga
apakabar.co.id, JAKARTA - Greenpeace Indonesia menyampaikan duka mendalam atas banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang telah menewaskan lebih dari 600 orang, menyebabkan ratusan orang hilang dan ratusan ribu warga mengungsi.

Melihat skala kerusakan yang terus membesar, Greenpeace mendesak pemerintah untuk segera menetapkan status darurat bencana nasional dan melakukan penanganan cepat dan terkoordinasi.

Menurut Greenpeace, banjir Sumatera bukan sekadar fenomena alam, melainkan peringatan keras mengenai dua masalah besar: dampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang kronis.

“Peristiwa banjir ini harus menjadi pengingat terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk membenahi kebijakan pengelolaan hutan, lingkungan hidup, dan komitmen iklim secara total,” tegas Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dampak krisis iklim terlihat dari cuaca yang kian ekstrem, termasuk hujan lebat yang diperparah dengan terjadinya siklon tropis Senyar pada 25-27 November 2025 di Selat Malaka.


Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), lewatnya siklon tropis Senyar di Selat Malaka, bahkan hingga ke daratan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat ini bukan fenomena umum mengingat posisi Indonesia di dekat garis ekuator.

“Hujan ekstrem akan terus mengintai kita sebagai dampak dari krisis iklim. Pemerintah tak bisa lagi mengandalkan upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya terpampang di atas kertas, dan tidak boleh ada lagi solusi palsu dalam kebijakan iklim nasional,” kata Iqbal Damanik, Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Faktor kedua yang memicu besarnya dampak banjir Sumatera yakni perusakan hutan dan alih fungsi lahan, termasuk di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS). 

Analisis Greenpeace dengan merujuk data Kementerian Kehutanan menemukan, dalam kurun 1990-2024, banyak hutan alam di Provinsi Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman. Situasi serupa terjadi di Aceh dan Sumatera Barat.

Peneliti senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, mengatakan, “Mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis–dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen. Sedangkan secara keseluruhan kini tinggal 10-14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera yang 47 juta hektare.”

Salah satu DAS yang rusak parah ialah DAS Batang Toru yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. 

Salah satu bentang hutan tropis terakhir di Sumatera Utara ini juga dibebani berbagai macam perizinan untuk industri rakus lahan–termasuk PLTA Batang Toru–yang lantas membabat hutan, juga menggusur habitat orang utan Tapanuli. 

Berikut hasil analisis Greenpeace tentang kawasan hutan di area DAS Batang Toru:

Selama periode 1990-2022, telah terjadi deforestasi seluas 70 ribu hektare atau 21 persen dari luas DAS. Kini luas hutan alam yang tersisa sebesar 167 ribu hektare atau 49 persen dari luas DAS.

Areal perizinan berbasis lahan dan ekstraktif secara keseluruhan seluas 94 ribu hektare atau 28 persen. Sebagian besar berupa perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wilayah izin usaha pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit. 

Total potensi erosi saban tahun sebesar 31,6 juta ton. Sekitar 56 persen berasal dari areal rawan erosi >180 ton/hektare/tahun. 
Bagian hulu sudah beralih fungsi menjadi pertanian kering, sedangkan hilirnya beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan industri bubur kertas. Hutan alamnya hanya berada di bagian tengah DAS.

Pemerintah Indonesia harus serius membenahi kebijakan tata kelola lahan dan hutan secara menyeluruh demi menyelamatkan ekosistem dan masyarakat dari tragedi bencana iklim. 

Dengan krisis iklim yang kian parah, hutan yang rusak dan daya dukung lingkungan yang sudah menurun drastis hanya akan membuat kita makin porak-poranda tatkala terjadi cuaca ekstrem. 


“Pemerintah harus mengakui bahwa mereka telah salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Akibatnya hutan Sumatera hampir habis, terjadi degradasi lingkungan parah, dan kini masyarakat Sumatera harus menanggung harga yang amat mahal dari bencana ekologis ini,” kata Arie Rompas. 

Selain itu, pemerintah juga harus mengevaluasi izin-izin pertambangan di Sumatera, dan juga harus berhenti merusak hutan di wilayah lain, seperti Papua. 

“Hentikan perusakan hutan yang terjadi di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya yang dibebani tambang nikel, juga deforestasi di Merauke demi ambisi swasembada energi dan pangan yang salah kaprah. Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicita-citakan Prabowo tak akan tercapai jika lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai kita,” lanjutnya.