OPINI
Membaca Arah Masa Depan Kopdes Merah Putih
Oleh: Martani Huseini*
Koperasi telah lama menjadi salah satu pilar utama dalam mendorong perekonomian masyarakat desa di Indonesia.
Sejak era kemerdekaan, koperasi diharapkan menjadi alat pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, khususnya di desa, agar terbentuk kemandirian dan kesejahteraan secara kolektif.
Namun demikian, fakta mencatat masih banyak koperasi yang berguguran dan gagal berperan maksimal, bahkan koperasi berskala besar sekalipun.
Fenomena ini menjadi peringatan bahwa masalah koperasi di Indonesia bukan semata-mata soal modal atau dana, melainkan lebih mendasar pada aspek manajemen, strategi, dan adaptasi terhadap tantangan zaman.
Gagasan untuk mendirikan dan mengembangkan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) adalah upaya penting yang mempunyai makna strategis untuk memperkuat ekonomi desa yang selama ini belum bisa “lepas landas” secara signifikan.
Pemerintah, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, menargetkan untuk memperkuat pembiayaan hingga ratusan triliun rupiah dalam rangka menggerakkan KDMP.
Namun, faktanya pemberian dana besar saja tidak cukup menjamin keberhasilan. Terlebih di tengah dunia yang bergejolak cepat dan penuh ketidakpastian, yang sering disimbolkan dengan istilah VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous).
Pengalaman historis memperlihatkan bahwa daya tahan koperasi sangat tergantung pada kekuatan aktor di dalamnya, sistem yang menopang, serta strategi yang digunakan.
Kisah sukses Rizwan Husin yang mengangkat Kopi Gayo melalui koperasi adalah contoh ideal bagaimana kompetensi inti, budaya lokal, dan kepemimpinan kuat mampu menciptakan koperasi yang berkelanjutan dan kompetitif.
Sebaliknya, terdapat pula contoh koperasi besar seperti GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) yang dulu begitu dikenal, tetapi kemudian tumbang dan kehilangan relevansi karena terbatasnya inovasi dan adaptasi dengan perubahan zaman.
Pendekatan RBV
Dalam konteks VUCA, koperasi dituntut bergerak lebih cepat dan lebih cerdas. Pasar global dan lokal semakin dinamis dengan tantangan ketidakpastian ekonomi, perubahan sosial politik, serta kemajuan teknologi digital yang pesat.
Data menunjukkan lebih dari 97 persen start-up dan perusahaan berbasis teknologi tumbang dalam beberapa tahun pertama. Tidak mengherankan jika koperasi dan UMKM tradisional yang tidak didukung strategi yang tepat menghadapi kesulitan besar untuk bertahan.
Koperasi Desa Merah Putih harus menjadi motor perubahan yang tidak sekadar mengandalkan dana pemerintah, tapi juga harus bisa mengelola sumber daya dan strategi berbasis kompetensi inti desa.
Pendekatan Resource Based View (RBV) sangat relevan dalam konteks ini, yang menekankan pemanfaatan aset yang berwujud maupun tidak berwujud, mulai dari modal, teknologi, budaya organisasi, sampai kualitas sumber daya manusia.
RBV memungkinkan koperasi menggali potensi unik desa masing-masing, sehingga menciptakan keunggulan yang sulit ditiru oleh pesaing.
Dua pakar strategi bisnis penggagas konsep RBV, Wernerfelt (1984) dilanjutkan oleh Jay Barney (1991), mengemukakan prasyarat sukses berbisnis jika memenuhi 4 unsur VRIO (Valuable, Rare, Inimmitable dan Organized).
Artinya, kalau seseorang berkehendak memulai suatu bisnis pilihlah produk/jasa di sektor tertentu yang memiliki nilai manfaat tinggi (Valuable) bagi calon konsumennya dan masih langka pesaingnya (Rare).
Kalaupun sudah ada adopsi penjiplakannya agak sulit (Inimmitable), karena memerlukan proses pengorganisasiannya (Organized) agak rumit.
Contoh nyata potensi desa yang dapat dikembangkan melalui KDMP antara lain kopi Gayo di Aceh, beras porang di Madiun, dan budidaya pakan ikan dan ternak dari belatung (Black Soldier Flies) dengan memanfaatkan sampah organik sisa makanan yang dikumpulkan dan dipilah-pilah dari Tempat Pembuangan Sampah (TPS).
Demikian juga varian makanan ataupun kosmetika yang dibuat dari tanaman rumput laut. Strategi semacam ini diberi label ‘Blue Ocean Strategy’ oleh pakar bisnis dari kampus INSEAD Prancis, Chan Kim dan Rene Mauborgne (2015). Belum lagi pengembangan obyek-obyek wisata turistik yang spesifik seperti Danau Toba, Obyek wisata Diving dan Snorkling Raja Ampat Papua.
Masih banyak lagi contoh-contoh pengembangan bisnis di ranah ‘Blue Ocean’. Kesimpulannya menciptakan ruang pasar baru yang tidak tergarap banyak pemain.
Dalam hal ini koperasi bisa menemukan ceruk pasar yang berpeluang besar. Ini berbeda dengan strategi tradisional di ‘red ocean’ yang artinya bersaing di pasar yang sudah padat dan penuh tekanan.
Kesejahteraan Rakyat
Namun, tantangan terbesar sebenarnya terletak pada sistem pembinaan dan pengelolaan koperasi yang selama ini masih lemah, terfragmentasi, dan cenderung hanya sekadar administratif.
Banyak koperasi dan pelaku UMKM berjalan sendiri-sendiri, tanpa arahan strategi yang sistematis dan realistis. Masih banyak yang kesulitan mengakses teknologi digital, inovasi produk, hingga manajemen keuangan yang modern.
Akibatnya, banyak koperasi yang tidak bisa bertahan lama dan akhirnya membebani anggaran negara atau berakhir bubar. Pentingnya penguatan ekosistem pendukung koperasi tidak bisa diabaikan.
Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi dalam menyediakan pembinaan yang menyentuh aspek teknis dan strategis dengan pendekatan yang adaptif dan kontekstual sesuai karakteristik desa masing-masing.
Pembinaan tidak sekadar bimbingan administratif, tapi juga pendampingan inovasi, pelatihan kapasitas SDM, hingga fasilitasi akses pasar dan pembiayaan yang fleksibel.
Selain itu, kunci keberhasilan pengembangan KDMP adalah adanya kolaborasi erat antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pihak swasta, akademisi, lembaga keuangan, hingga masyarakat desa itu sendiri.
Koperasi bukan sekadar institusi ekonomi, tapi juga agen sosial untuk memperkuat solidaritas dan kebersamaan masyarakat dalam membangun ekonomi lokal yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan modal ide yang kuat, strategi yang tepat, serta komitmen serius dari semua pihak terkait, Koperasi Desa Merah Putih berpotensi menjadi motor penggerak ekonomi rakyat yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai kearifan lokal.
Sudah saatnya bangsa ini bergerak dari sekadar mengelola koperasi sebagai alat administratif menjadi mengembangkan koperasi sebagai agen perubahan dan penggerak pembangunan desa menuju masa depan yang cerah.
KDMP adalah harapan sekaligus tantangan besar. Jika mampu dijalankan dengan prinsip-prinsip manajemen modern yang adaptif dan inovatif, koperasi desa akan menjadi pijakan kokoh untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
*) Penulis adalah Peneliti Masalah Inovasi Desa (OVOI-CIGO-FIA-UI), Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY



