OPINI

Membangun Perlindungan Demokrasi Bebas Perundungan di Ranah Digital

Foto ilustrasi demokrasi di media digital. Foto: Freepik
Foto ilustrasi demokrasi di media digital. Foto: Freepik
Oleh: Anderyan Noor*

Di tengah derasnya arus komunikasi digital yang tak mengenal batas, muncul sebuah paradoks yang semakin mengkhawatirkan tentang ruang publik yang seharusnya menjadi wadah dialog sehat, justru sering berubah menjadi arena perundungan.

Di media sosial, kebenaran dan adab sering kali tergeser oleh keinginan untuk menang argumen, mempermalukan lawan, atau sekadar menumpahkan emosi.

Dalam suasana seperti itu, munculnya figur-figur muda yang teguh memegang nilai kebangsaan dan keislaman menjadi ujian tersendiri, karena setiap langkah dan ucapan mereka mudah dijadikan sasaran.

Fenomena ini tidak sekadar soal perbedaan pandangan, melainkan tentang bagaimana bangsa ini memelihara kualitas ruang publik dan martabat kemanusiaan.
Ketika seorang pemuda, seperti Muhammad Ainul Yakin, Ketua GP Ansor DKI Jakarta, mendapat serangan opini dan perundungan di ruang digital, masyarakat sejatinya sedang dihadapkan pada pertanyaan yang lebih besar tentang apakah bangsa ini sedang kehilangan kemampuan untuk menghargai perbedaan di antara anak-anak terbaiknya?

Ainul Yakin memang bukan satu-satunya yang menghadapi situasi seperti ini. Banyak pemuda dengan semangat kebangsaan serupa juga kerap mengalami hal sama, dihujat, dicurigai, bahkan diserang karena pandangannya tidak sejalan dengan arus besar opini publik.

Padahal, justru dari keberanian berpikir berbeda inilah lahir ide-ide baru untuk kemajuan bangsa. Maka yang perlu bersama dilawan bukan perbedaan, melainkan budaya perundungan yang merendahkan martabat manusia dan mematikan nalar sehat.

Kepemimpinan dalam konteks seperti itu menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar retorika atau popularitas. Dibutuhkan keteguhan moral dan keberanian untuk tetap berpegang pada nilai ketika tekanan datang dari berbagai arah.

Di sinilah makna sejati melawan perundungan yang bukan dengan membalas, tetapi dengan tetap berpikir jernih dan berbuat baik. Melawan perundungan berarti menolak ikut terbawa arus kebencian dan memilih jalur dialog yang beradab.
Pemimpin muda mana pun, termasuk Ainul Yakin, dapat menjadi simbol dari semangat itu, bukan karena ia sempurna, melainkan karena ia berusaha menjaga ruang publik agar tetap sehat dan produktif bagi semua.

Budaya perundungan terhadap tokoh muda seperti ini berpotensi merusak fondasi sosial masyarakat. Kritik dan perbedaan pendapat tentu diperlukan sebagai bagian dari dinamika demokrasi.

Hanya saja, ketika kritik berubah menjadi penghinaan, dan diskusi menjadi serangan pribadi, maka yang lahir bukanlah kemajuan, melainkan luka sosial yang menggerogoti rasa saling percaya.

Penjaga Ukhuwah

Pemuda Islam yang seharusnya menjadi penjaga ukhuwah justru terpecah oleh narasi kebencian yang tumbuh subur di ruang digital. Ini bukan hanya soal etika komunikasi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral menjaga kemanusiaan di era algoritma.

Karena itu, melawan perundungan berarti mengembalikan kemanusiaan dalam percakapan publik, membangun empati di atas perbedaan, dan menghidupkan kembali semangat persaudaraan yang menjadi inti ajaran Islam.

Dalam pandangan strategis, situasi ini memerlukan respons lebih serius dari organisasi kepemudaan Islam di Indonesia. Muhammadiyah, Ansor, dan berbagai organisasi lain memiliki tanggung jawab besar untuk membangun sistem perlindungan sosial bagi anggotanya di ranah digital.
Mereka perlu menjadi garda depan dalam menegakkan literasi digital berlandaskan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Perbedaan pandangan antarorganisasi tidak seharusnya menimbulkan permusuhan, melainkan menjadi ladang kolaborasi dalam memperkuat peran Islam sebagai kekuatan pemersatu bangsa.

Melawan perundungan bukan hanya urusan personal, tetapi gerakan bersama untuk menjaga agar ruang publik menjadi tempat tumbuhnya ide, bukan dendam.

Kepemimpinan pemuda yang mengedepankan keterbukaan dan komunikasi lintas kelompok perlu dijadikan contoh bagi generasi berikutnya. Mereka menunjukkan bahwa menjadi pemimpin muda tidak harus keras dan konfrontatif, tetapi justru harus mengandalkan dialog dan empati.

Kepemimpinan semacam ini adalah jawaban atas tantangan zaman yang menuntut kemampuan bernegosiasi dengan realitas, tanpa kehilangan idealisme.

Ketika dunia maya dipenuhi ujaran kebencian, figur-figur, seperti Ainul Yakin dan banyak pemuda lain yang memilih jalan tenang, menunjukkan bahwa perlawanan terhadap perundungan dapat dilakukan tanpa kebencian, cukup dengan konsistensi dan ketulusan.
Bangsa ini membutuhkan lebih banyak pemuda yang berjiwa kebangsaan, berani berpikir merdeka, namun tetap berpijak pada nilai keislaman yang meneduhkan.

Pemuda yang tidak larut dalam polarisasi, tetapi hadir sebagai jembatan penghubung antarperbedaan. Mereka inilah yang akan memulihkan etika publik dan memperkuat demokrasi dengan semangat persaudaraan.

Karena sejatinya, kekuatan bangsa ini tidak terletak pada keseragaman pandangan, tetapi pada kemampuan untuk saling menghormati dan bekerja bersama demi tujuan yang lebih besar.


Budaya Dialog

Dalam konteks inilah, penting untuk menumbuhkan kembali budaya dialog yang sehat di kalangan generasi muda. Ruang digital perlu dikembalikan fungsinya sebagai arena bertukar gagasan, bukan medan tempur yang mematikan karakter.

Pendidikan literasi media harus menjadi bagian dari gerakan kepemudaan Islam agar setiap pemuda memahami tanggung jawab moral dari setiap kata yang ia tulis.

Di era di mana satu unggahan bisa melukai ribuan hati, tanggung jawab etis menjadi ukuran sejati dari kedewasaan beragama dan berbangsa.

Melawan perundungan berarti mengajarkan generasi muda agar tidak takut berbeda, tetapi juga tidak tergoda untuk menyakiti.

Ke depan, langkah strategis yang dapat dilakukan adalah memperkuat sinergi antarorganisasi kepemudaan Islam melalui forum lintas ideologi yang menekankan persamaan misi kebangsaan.
Dialog yang difasilitasi dengan semangat ukhuwah akan mencegah perpecahan dan membangun rasa saling percaya. Pemerintah, lembaga keagamaan, dan komunitas digital juga perlu hadir menciptakan ekosistem komunikasi yang aman, di mana kritik tetap bisa disampaikan, tanpa mengorbankan martabat manusia.

Ruang publik yang sehat adalah tanggung jawab bersama, dan melawan perundungan adalah bagian dari upaya menjaga marwah kebangsaan.

Pada akhirnya, yang sedang bersama diperjuangkan bukan hanya pembelaan terhadap satu individu, tetapi pemulihan terhadap nilai-nilai dasar yang membentuk peradaban bangsa ini.

Melawan perundungan berarti menegakkan kembali adab dalam kehidupan berbangsa, memulihkan martabat dialog, dan menumbuhkan kesadaran bahwa setiap perbedaan adalah kesempatan untuk belajar.

Negeri ini memerlukan pemuda yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berjiwa besar, pemuda yang percaya bahwa menjadi beradab adalah bentuk tertinggi dari keberanian, dan menghormati sesama adalah bentuk paling nyata dari cinta kepada tanah air.

*) Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah