NEWS

Misrantoni, Pejuang Lingkungan Muara Kate yang Diduga Dikriminalisasi

Nama Misrantoni dikenal luas di desanya setelah tragedi 26 Oktober 2024, ketika Pendeta Pronika tewas terlindas truk pengangkut batubara milik perusahaan tersebut.
Misran Toni (baju biru), Pejuang Lingkungan Muara Kate yang menolak jalan negara dijadikan lintasan truk batu bara di Muara Kate, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Foto: istimewa
Misran Toni (baju biru), Pejuang Lingkungan Muara Kate yang menolak jalan negara dijadikan lintasan truk batu bara di Muara Kate, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Foto: istimewa
apakabar.co.id, JAKARTA - Sudah lebih dari seratus hari Misrantoni, warga Muara Kate, Kabupaten Paser, mendekam di tahanan. Ia terpisah dari istrinya dan tiga anak kecilnya sejak 17 Juli 2025. 

Bukan karena kasus korupsi atau kejahatan berat, tetapi karena perjuangannya menolak aktivitas hauling batubara di jalan umum yang diduga dilakukan secara ilegal oleh PT Mantimin Coal Mining (MCM).

Nama Misrantoni dikenal luas di desanya setelah tragedi 26 Oktober 2024, ketika Pendeta Pronika tewas terlindas truk pengangkut batubara milik perusahaan tersebut. 

Kematian Pronika menjadi simbol kemarahan warga terhadap aktivitas tambang yang mencaplok ruang hidup masyarakat. Dari sanalah Misran mulai aktif mengorganisir warga untuk menolak lalu lintas batubara di jalan publik yang membelah pemukiman Muara Kate.

“Misran itu bukan kriminal. Dia hanya menuntut keadilan dan keselamatan warga,” kata salah satu tokoh adat Batu Kajang, yang meminta namanya tidak disebut.

Menurutnya, Misran berkali-kali menolak tawaran uang dan “kompensasi” dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh operasi tambang.


Namun, perjuangan Misran justru berujung di jeruji besi. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pembunuhan berencana dan kekerasan terkait peristiwa bentrok pada 15 November 2024 di Dusun Muara Kate — insiden yang menyebabkan dua warga adat menjadi korban.

Kepolisian Paser dan Polda Kaltim menuding Misran sebagai salah satu pelaku utama.
Padahal, hingga kini motif utama perkara belum jelas, dan standar penyidikan ilmiah (Scientific Crime Investigation) diduga tidak diterapkan secara benar.

Koalisi Masyarakat untuk Perjuangan Muara Kate, yang terdiri dari JATAM Kaltim dan LBH Samarinda, menyebut proses hukum Misran penuh kejanggalan.

Dalam siaran persnya, mereka mengungkapkan adanya dua kali perpanjangan masa penahanan yang diajukan oleh Polres Paser ke Pengadilan Negeri Tanah Grogot — pertama pada 18 September–13 Oktober, dan kedua 13 Oktober–12 November 2025.

Masalahnya, keluarga Misran baru menerima surat perpanjangan pada 16 Oktober, tiga hari setelah masa perpanjangan pertama berakhir.

“Keterlambatan ini menunjukkan proses hukum yang tidak transparan dan mengabaikan hak-hak dasar tersangka,” ujar Ayu Sasmita, pengacara LBH Samarinda.

Dalam surat keberatan yang dikirim ke Pengadilan Negeri Tanah Grogot pada 24 Oktober 2025, Koalisi Masyarakat menilai penahanan Misran melanggar Pasal 9 Ayat (3) ICCPR (Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik) yang menjamin hak setiap orang untuk diadili dalam waktu wajar atau dibebaskan.

“Misran selalu kooperatif, tak pernah mangkir dari panggilan penyidik. Alasan subjektif bahwa dia akan melarikan diri sama sekali tidak berdasar,” tegas Ayu.

Selain itu, semua barang bukti telah diamankan — termasuk telepon genggam dan sejumlah benda tajam tradisional (parang, mandau). Artinya, tidak ada risiko Misran menghilangkan atau merusak barang bukti.

“Menahan orang tanpa dasar yang kuat adalah bentuk pelanggaran HAM,” kata Fatkhur Rahman, koordinator JATAM Kaltim. “Terlebih, ia ditahan karena memperjuangkan hak lingkungan yang sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 65 Undang-Undang PPLH dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,” sambungnya.

Konflik antara warga dan PT Mantimin Coal Mining bukan hal baru. Sejak Desember 2023, masyarakat Muara Kate dan Batu Kajang menolak keras aktivitas hauling batubara perusahaan di jalan umum. Aksi-aksi protes kerap berujung intimidasi dan kekerasan.

Tragedi Pendeta Pronika menjadi titik balik. Ia tewas setelah truk batubara melindas motornya di jalan desa. Sejak saat itu, warga mendesak pemerintah daerah dan kepolisian menghentikan aktivitas perusahaan yang dianggap melanggar aturan lalu lintas dan mencemari lingkungan. Namun, alih-alih menghentikan tambang, warga justru menghadapi kriminalisasi.

Menurut data JATAM, sedikitnya tujuh warga menjadi korban luka hingga meninggal dunia akibat aktivitas hauling batubara ilegal sepanjang 2023–2025.

Media ini telah berupaya menghubungi Kapolres Paser, AKBP Novy Adiwibowo, namun hingga berita ini diturunkan, pesan dan panggilan telepon tidak dijawab.

Sementara Kepala Humas Polres Paser, Inspektur Polisi Iwan Suhariyanto, menyatakan bahwa langkah kepolisian sudah sesuai aturan.

“Yang dilakukan polisi dalam hal ini Polda Kaltim bersama Polres Paser sudah sesuai prosedur,” singkatnya, Selasa (28/10).

Senada, Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Yulianto, menegaskan bahwa penyidik memiliki bukti yang cukup.

“Enggaklah (kriminalisasi). Semua sudah melalui proses yang prosedural dan bukti yang cukup. Semua tindakan Polri ada alasan hukum,” ujarnya.

Namun bagi warga Muara Kate, pernyataan itu tidak menghapus rasa ketidakadilan. “Kalau membela lingkungan saja bisa ditahan, siapa lagi yang berani bersuara?” tutur seorang warga dengan nada getir.


Kasus Misrantoni kini menjadi simbol perlawanan terhadap kriminalisasi pejuang lingkungan di Kalimantan Timur.

Koalisi masyarakat mendesak agar Jaksa Agung dan Komnas HAM turun tangan memastikan proses hukum berjalan objektif dan berkeadilan.

“Menahan Misran berarti membungkam suara rakyat,” tegas Fatkhur. “Keadilan seharusnya berpihak kepada mereka yang membela kehidupan, bukan kepada kepentingan industri tambang yang menciptakan bencana bagi masyarakat," lanjutnya.

Sementara itu, keluarga Misran masih menunggu di rumah panggung sederhana di tepi sungai Muara Kate. Anak bungsunya, yang baru berusia sekolah, masih kerap menanyakan kapan ayahnya pulang.

PT Mantimin Coal Mining (MCM) adalah perusahaan tambang batu bara yang memperoleh izin operasi di wilayah pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. PT MCM ini merupakan anak usaha dari Infrastructure Leasing & Financial Services Limited (IL&FS) asal India.

Upaya konfirmasi telah dilakukan melalui nomor telepon dan mendatangi langsung kantor PT MCM di Cityloft Apartement Jakarta. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan.