OPINI
Antara Natal, Tahun Baru, dan Kebersamaan di Saat Sulit
Natal dan tahun baru sejatinya adalah ruang jeda untuk refleksi kolektif: merenungkan apa yang telah terjadi dan mengikat harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Oleh: Dr M Lucky Akbar
TAHUN INI, perayaan tersebut berlangsung di tengah dinamika ekonomi yang kompleks. Di satu sisi, berbagai indikator makro menunjukkan pertumbuhan yang masih relatif solid, tetapi di sisi lain, banyak rumah tangga dan pelaku usaha merasakan tekanan ekonomi yang nyata.
Ditambah lagi, bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera mempertebal lapisan tantangan sosial-ekonomi yang harus dihadapi masyarakat.
Di tengah situasi seperti ini, makna kebersamaan menjadi semakin penting. Bukan hanya sebagai simbol perayaan, tetapi sebagai kekuatan sosial yang nyata dalam menghadapi kesulitan bersama.
Makna kebersamaan
Kebersamaan dalam konteks Natal dan tahun baru tahun ini tidak lagi semata ritual budaya atau religius, tetapi menjadi wujud nyata solidaritas dalam menghadapi tekanan kehidupan.
Ketika banyak keluarga harus mempertimbangkan kembali pengeluaran mereka untuk menyesuaikan dengan kenaikan biaya kebutuhan pokok, kebersamaan berubah dari barang mewah menjadi kebutuhan emosional dan sosial.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi, tapi pertumbuhannya relatif moderat, mencerminkan kehati-hatian konsumen dalam berbelanja, seiring tekanan terhadap daya beli yang masih dirasakan oleh masyarakat luas.
Berdasarkan data resmi menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen pada Triwulan II 2025, kemudian 5,04 persen pada Triwulan III 2025 (year-on-year), meski dalam konteks global yang tidak sepenuhnya stabil.
Angka-angka tersebut tidak selalu tercermin dalam pengalaman harian semua warga negara. Di sejumlah wilayah, terutama daerah industri dan sektor produktif kecil, tekanan pada pendapatan rumah tangga tetap terasa.
Selain itu, ketidakpastian di pasar tenaga kerja dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor turut memperkuat perasaan was-was di kalangan pekerja dan keluarganya. Ini menandakan bahwa kebersamaan sosial yang berupa saling dukung, gotong royong, maupun bantuan komunitas menjadi penopang penting bagi banyak orang di luar statistik resmi.
Tekanan ekonomi
Data statistik makro memang menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia pada 2025 berada di jalur pertumbuhan positif. Meski target pertumbuhan keseluruhan diperkirakan berada dalam kisaran 4,6 –5,4 persen sepanjang tahun 2025, angka ini sesungguhnya merupakan gabungan kondisi yang beragam di berbagai sektor dan segmen masyarakat.
Sementara itu BPS mencatat bahwa pada Triwulan I, II, dan III perekonomian tumbuh masing-masing sebesar 4,87 persen, 5,12 persen, dan 5,04 persen (y-o-y). Pertumbuhan ini relatif stabil dari sisi makro, didukung oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan kinerja ekspor dalam beberapa periode.
Hanya saja, di balik angka tersebut, banyak sektor yang masih menghadapi tekanan, seperti stagnasi upah riil, tantangan produktivitas, dan biaya hidup yang masih tinggi.
Tambahan beban datang dari bencana alam di wilayah Sumatera. Banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem tidak hanya berdampak pada kerusakan fisik infrastruktur, tetapi juga mengganggu alur produksi dan distribusi ekonomi lokal, terutama di sektor pertanian, perdagangan, dan jasa mikro.
Dalam kondisi seperti ini, semakin banyak keluarga harus mengalihkan prioritas pengeluaran untuk kebutuhan dasar, meninggalkan pengeluaran konsumtif yang biasanya meningkat menjelang Natal dan tahun baru.
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah menghadapi skenario yang relatif mirip selama masa krisis ekonomi Asia 1998, ketika tekanan makro kemudian merembet ke kemampuan rumah tangga memenuhi kebutuhan pokok.
Perbedaan utamanya adalah pada 2025, pertumbuhan ekonomi masih mencatatkan angka positif, sementara pada 1998 terjadi kontraksi tajam yang meluas ke seluruh sektor. Kendati demikian, pelajaran masa lalu tetap relevan: ketika tekanan ekonomi dirasakan oleh mayoritas masyarakat, dampaknya menembus batas statistik makro dan meresap ke kehidupan sosial sehari-hari.
Solidaritas sosial
Di tengah tekanan ekonomi dan kondisi darurat bencana, solidaritas sosial menjadi elemen penting penyangga kehidupan masyarakat. Perayaan Natal dan Tahun Baru seringkali digunakan sebagai momentum untuk memperkuat jaringan sosial: berbagi bahan kebutuhan pokok, penyelenggaraan dapur umum untuk mereka yang terdampak, hingga program sukarelawan membersihkan lingkungan setelah bencana.
Bantuan dari pemerintah, lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, serta sektor swasta pun mengalir ke wilayah terdampak di Sumatera. Solidaritas ini tidak hanya berbentuk materi, tetapi juga dukungan moral dan psikologis; kehadiran tetangga dan komunitas menjadi bagian penting dari proses pemulihan bersama.
Solidaritas tersebut berperan sebagai jaring pengaman sosial yang berfungsi ketika mekanisme pasar atau bantuan formal belum sepenuhnya menjangkau seluruh kelompok masyarakat yang membutuhkan. Pengalaman historis Indonesia juga menunjukkan bahwa solidaritas komunitas memiliki peran krusial selama masa krisis. Misalnya, saat bencana gempa dan tsunami Aceh pada 2004 atau bencana besar di Palu dan sekitarnya pada 2018, kebersamaan antarwarga dan relawan menjadi pondasi penting dalam proses pemulihan awal, sebelum bantuan formal sepenuhnya terdistribusi.
Harapan baru
Antara Natal dan tahun baru terdapat ruang simbolik sarat makna: harapan. Dalam pergantian tahun, masyarakat menaruh optimisme bahwa semangat kebersamaan, solidaritas, dan upaya kolektif akan memperkuat ketahanan sosial serta membantu beranjak dari tekanan yang dirasakan sehari-hari.
Data statistik menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih berada dalam jalur pertumbuhan, walau tidak tanpa tantangan. Pertumbuhan yang terus berada di kisaran lima persen, meski ada dinamika global dan domestik, memberi indikasi bahwa fondasi ekonomi makro masih relatif kuat.
Meskipun demikian, indikator lain, seperti kebijakan fiskal dan moneter yang responsif tetap dibutuhkan untuk mengatasi tekanan biaya hidup, menjaga stabilitas harga, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.
Pelajaran dari masa lalu, terutama krisis ekonomi besar yang pernah dialami negara ini, mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan harus mengakar pada keadilan sosial dan pemerataan manfaat.
Kebijakan yang fokus pada pemberdayaan UMKM, perlindungan sosial, serta investasi pada ketahanan ekonomi lokal bisa menjadi pilar untuk membangun masa depan yang lebih inklusif. Di tengah tekanan ekonomi, bencana alam, dan dinamika global yang tidak mudah diprediksi, perayaan Natal dan tahun baru menjadi lebih dari sekadar momen perayaan.
Ia menjadi waktu untuk menyatukan tekad: menjaga kebersamaan, memperkuat solidaritas, dan menata harapan bersama demi masa depan yang lebih adil dan sejahtera. (*)
Penulis adalah ASN Kemenkeu dan dosen praktisi kebijakan publik
Editor:
RAIKHUL AMAR
RAIKHUL AMAR