NEWS
MK Batalkan Pasal UU Cipta Kerja, Masyarakat Kawasan Hutan Bebas Sanksi
apakabar.co.id, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mencatatkan putusan bersejarah yang memberi napas keadilan bagi masyarakat yang telah lama hidup di kawasan hutan. Dalam sidang pembacaan putusan pada Kamis (16/10/2025),
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap ketentuan dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UUP3H), yang sebelumnya diubah melalui UU Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UU.
Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 110B ayat (1) UUP3H bertentangan dengan UUD 1945. Majelis hakim menegaskan, sanksi administratif dalam pasal tersebut tidak dapat diberlakukan terhadap masyarakat yang secara turun-temurun tinggal dan beraktivitas di kawasan hutan, selama tidak untuk kepentingan komersial.
Putusan ini menjadi tonggak penting bagi perlindungan hak masyarakat adat, petani kecil, dan kelompok rentan yang selama ini terancam kriminalisasi akibat tumpang tindih aturan kehutanan.
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Sawit Watch bersama kuasa hukumnya dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) pada akhir 2024. Organisasi ini menilai ketentuan sanksi dalam UU Cipta Kerja telah menimbulkan ketidakadilan struktural, terutama bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari lahan hutan secara tradisional.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyambut baik putusan MK tersebut. Menurutnya, keputusan ini merupakan kemenangan rakyat yang harus ditindaklanjuti dengan pembenahan regulasi turunan.
“Putusan ini melindungi hak masyarakat atas hutan. Seharusnya, masyarakat yang dimaksud juga termasuk petani kecil perkebunan sawit yang beraktivitas secara turun-temurun. Mereka tidak lagi dapat dikenai sanksi administratif seperti yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Kini, aturan pelaksana harus dikoreksi agar selaras dengan putusan MK,” ujarnya.
Sebelumnya, untuk memperkuat substansi permohonan, Sawit Watch menghadirkan ahli dan saksi yang merupakan masyarakat terdampak.
Grahat Nagara, M.H selaku ahli, menguraikan pandangan akademis yang mendukung dalil gugatan. Sementara itu, kesaksian faktual datang dari masyarakat Desa Ujung Gading Julu, Padang Lawas Utara, Sumut yang memberikan gambaran langsung mengenai kesulitan dan dampak nyata yang mereka hadapi di lapangan.
Senada dengan hal tersebut, Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) menyoroti bahwa putusan MK dapat menjadi fondasi untuk memperkuat mekanisme reforma agraria, khususnya dalam penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan.
“Putusan MK tersebut, seharusnya menjadi landasan untuk penguatan mekanisme Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dalam kerangka reforma agraria, sehingga skema penataan hutan tidak semuanya melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), tapi juga melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA),” ungkapnya.
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY

