EKBIS

Pakar IPB Tekankan Perhitungan Cermat soal B50 bagi Industri Sawit

Pekerja sedang menumpukan tandan buah segar di salah satu pabrik kelapa sawit di Abdya, Selasa (14//10/2025). Foto: Antara
Pekerja sedang menumpukan tandan buah segar di salah satu pabrik kelapa sawit di Abdya, Selasa (14//10/2025). Foto: Antara
apakabar.co.id, JAKARTA - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB University) Bayu Krisnamurthi menekankan pentingnya perhitungan cermat oleh pemerintah sebelum menerapkan kebijakan biodiesel B50 pada tahun 2026.

Bayu menilai hal ini krusial agar industri sawit nasional dapat terus memiliki daya saing dan kegiatan industrinya bisa berkelanjutan.

Menurut dia, rencana kenaikan B40 ke B50 bisa menambah beban subsidi, menekan ekspor, menaikkan harga minyak goreng, dan pada akhirnya menggerus daya saing sawit.

“Sudah sejak beberapa tahun ini, Indonesia bukan hanya stagnan produksi sawit tapi juga stagnan investasi karena kebijakan yang tidak menentu,” kata Bayu dalam keterangannya di Jakarta, Senin (20/10).
Ini juga senada dengan hasil kajian Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Pranata UI).

Kajian Pranata UI menekankan pentingnya penerapan kebijakan biodiesel nasional secara terukur, adaptif, dan berbasis data ilmiah guna memperkuat agenda transisi energi hijau pemerintah.

Kebijakan yang mempertimbangkan seluruh faktor serta parameter pada industri kelapa sawit Indonesia secara ilmiah akan mendukung efektivitas upaya membangun kemandirian energi lewat peningkatan mandatori pencampuran biodiesel dari B40 ke B50.

Indonesia, sebagai produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi 48,2 juta ton atau 54 persen dari pasokan global, menghadapi tantangan serius dalam mendukung mandatori biodiesel B50.
Kebutuhan produksi domestik diperkirakan harus naik hingga 59 juta ton per tahun, sementara produksi 2025 hanya diproyeksikan 49,5 juta ton.

Simulasi menunjukkan penghematan devisa impor solar sebesar Rp172,35 triliun, namun potensi kehilangan devisa akibat turunnya ekspor CPO bisa mencapai Rp190,5 triliun.

“Kondisi ini dapat memperlemah neraca perdagangan, cadangan devisa, dan stabilitas nilai tukar rupiah, apalagi saat harga CPO Indonesia sudah lebih tinggi dari minyak nabati lain, mendorong negara importir seperti India beralih ke komoditas pesaing,” kata Bayu.

Kajian tersebut pun menunjukkan mandatori biodiesel B50 berdampak pada harga domestik. Harga minyak goreng diperkirakan naik hingga 9 persen dan TBS naik sekitar Rp618 per kilogram akibat meningkatnya permintaan bahan baku biodiesel.
Baik Bayu maupun Pranata U merekomendasikan agar seluruh pemangku kepentingan mempertimbangkan seksama kapasitas produksi sawit nasional, daya saing ekspor, dan kesejahteraan petani agar manfaat program ini terasakan secara menyeluruh.

“Kita perlu keseimbangan antara target energi, ekspor, dan kesejahteraan petani. Sawit Indonesia ini luar biasa kuat, tidak mungkin kalah, kecuali kalau kita sendiri yang membuatnya kalah,” jelasnya.