EKBIS

SPKS Dorong Perbaikan Sistem Pasar Penjualan Kredit bagi Petani Sawit

Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit saat panen di kawasan Desa Suak Raya, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Kamis (1/5/2025).  Foto: Antara
Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit saat panen di kawasan Desa Suak Raya, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Kamis (1/5/2025). Foto: Antara
apakabar.co.id, JAKARTA - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendorong perbaikan sistem pasar penjualan kredit keberlanjutan bagi petani sawit mandiri agar manfaat ekonomi dari sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dapat dirasakan secara adil.

"SPKS menyuarakan keprihatinan atas kendala yang dialami anggota dalam mengakses manfaat ekonomi dari sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO," kata Ketua Umum SPKS Sabarudin dalam keterangan di Jakarta, Minggu (2/11).

Menurutnya meskipun petani sawit mandiri telah berhasil memperoleh sertifikat RSPO, mereka kesulitan dalam menjual kredit keberlanjutan sehingga menghambat realisasi insentif bagi mereka.

"Sebagai contoh, Koperasi Produsen Perkebunan Persada Engkersik Lestari di Kalimantan Barat anggota dari SPKS, yang telah bersertifikasi RSPO sejak 2024, meski berstatus pembeli kredit RSPO tapi belum dapat menjual kredit yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya masa sertifikatnya," ujarnya.
Sabarudin menyampaikan masalah itu adalah isu mendesak yang memerlukan perhatian serius dari para pemangku kepentingan utamanya pihak RSPO.

Sebab, menurutnya, petani telah berinvestasi sumber daya dan biaya yang cukup besar untuk mencapai standar keberlanjutan RSPO.

"Kami merasa kecewa ketika upaya tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengan manfaat ekonomi yang dijanjikan melalui penjualan kredit," ujar Sabarudin.

Hal itu, menurutnya, menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sistem kredit seperti yang disampaikan oleh RSPO selama ini.

SPKS menilai perlu adanya evaluasi terhadap sistem kredit RSPO agar lebih efektif dan inklusif bagi seluruh petani sawit, khususnya yang telah berkomitmen menerapkan praktik berkelanjutan.
Sehingga, dia juga mendorong agar sekretariat RSPO memperkuat peran fasilitasi antara pembeli kredit dan petani sawit, sehingga transaksi dapat berjalan transparan, adil, serta memberi manfaat ekonomi yang merata.

Sabarudin menekankan jika situasi itu berlanjut, petani sawit kecil berpotensi kehilangan dorongan untuk berkomitmen pada produksi minyak sawit berkelanjutan melalui bersertifikat RSPO.

Menurut SPKS, kondisi saat tersebut berisiko membuat sistem sertifikasi RSPO terkesan lebih menguntungkan perusahaan besar yang memiliki jalur rantai pasok langsung.

"Kendala ini dapat mengurangi manfaat ekonomi yang seharusnya diterima petani kecil atas komitmen mereka terhadap keberlanjutan. Dalam jangka panjang, ini dapat menghambat upaya kita bersama untuk menciptakan inklusivitas dalam sektor sawit berkelanjutan di Indonesia," tambah Sabarudin.

Menyikapi hal itu, SPKS meminta agar konferensi RSPO di Kuala Lumpur pada tanggal 3-5 November 2025 dapat memberikan ruang khusus untuk membahas dan meninjau ulang mekanisme penjualan kredit RSPO bagi petani sawit mandiri.
RSPO merupakan sistem sertifikasi global yang bertujuan menjamin produksi dan pasokan minyak sawit yang berkelanjutan.

Sertifikasi itu memastikan praktik perkebunan yang bertanggung jawab, termasuk menghindari deforestasi dan melindungi hak-hak pekerja.

Organisasi itu melibatkan produsen, pengolah, pedagang, hingga pengguna akhir minyak sawit. SPKS juga sebagai anggota RSPO tetap berkomitmen untuk mendorong anggotanya masuk dalam sertifikasi RSPO.