apakabar.co.id, JAKARTA – Bulu tangkis Indonesia terus mendapatkan sorotan. Puncaknya terjadi saat gagal meraih gelar di ajang prestisius Indonesia Open 2025, pekan lalu.
Tak satu pun wakil Merah Putih berhasil naik podium tertinggi. Prestasi yang kian menurun ini memperpanjang daftar kekecewaan publik terhadap Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Harapan terakhir sebenarnya sempat menggelora lewat pasangan ganda putra Sabar Karyaman Gutama/Moh Reza Pahlevi Isfahani. Sayangnya, mereka takluk dalam laga final dari wakil Korea Selatan Kim Won Ho/Seo Seung Jae lewat rubber game sengit: 21-18, 19-21, 12-21 di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Minggu (8/6) lalu.
Kegagalan Sabar/Reza menambah daftar pemain Indonesia yang tumbang sebelum final. Nama-nama unggulan seperti Jonatan Christie, Putri Kusuma Wardani, Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari, Febriana Dwipuji Kusuma/Amallia Cahaya Pratiwi, hingga Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto bahkan tak mampu menembus semifinal.
Kegagalan demi kegagalan membuat PBSI dibanjiri kritik. Tak hanya dari para pengamat, namun juga dari penggemar bulutangkis tanah air.
“Dari enam bulan awal 2025, Indonesia hanya meraih dua gelar dari turnamen Super 300. Ini mengecewakan,” kata Iwan, salah satu Badminton Lovers.
Gelar yang dimaksud Iwan diraih oleh pasangan Lanny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti di Thailand Masters 2025 dan Jafar Hidayatullah/Felisha Alberta Nathanael Pasaribu di Taipei Open 2025. Kedua turnamen itu hanya berkategori Super 300, kasta menengah dalam sirkuit BWF.
Situasi makin pelik setelah sejumlah pemain inti memilih mundur dari pelatnas. Jonatan Christie dan Chico Aura Dwi Wardoyo angkat kaki. Anthony Ginting dan Gregoria Mariska Tunjung belum pasti kembali karena masalah kesehatan.
Ironisnya, pelatih legendaris Herry IP, yang berjasa membesarkan sektor ganda putra, juga meninggalkan pelatnas dan memilih melatih di Malaysia.
“Kami bingung, mengapa bulutangkis Indonesia kian menurun, padahal pengurus PBSI saat ini diisi oleh legenda-legenda besar,” tambah Iwan.
Memang, nama-nama seperti Taufik Hidayat, Ricky Subagja, Yuni Kartika, hingga Eng Hian kini berada di struktur kepengurusan PBSI. Namun keberadaan mereka belum mampu mengangkat pamor dan prestasi bulutangkis Indonesia.
PBSI juga disorot karena kerap salah memilih turnamen. Fokus yang tidak tepat membuat peluang meraih gelar makin menipis. Negara-negara seperti Malaysia, Thailand, India, hingga Singapura kini justru tampil lebih konsisten dan menjanjikan.
Masalah regenerasi juga menjadi titik krusial. Meski ada ajang seperti Sirnas dan BWF World Junior Championship sebagai wadah pencarian bibit, prestasi mereka justru mandek saat masuk level senior.
Banyak pihak menilai mental tanding pemain Indonesia rapuh, terutama saat menghadapi tekanan laga penting. Ditambah lagi, pengembangan sport science dan psikologi atlet masih belum optimal.
Selain itu kekecewaan juga ditunjukkan Yuli Suharti, seorang Badminton lover asal Pasar Rebo, Jakarta. Ia menyoroti lambatnya proses regenerasi pemain muda.
Nama seperti Alwi Farhan, juara dunia junior 2023, baru diturunkan sekarang. “Alwi terlalu lama disimpan. Kenapa baru sekarang? Padahal dia punya potensi,” tambahnya.
Sektor Tunggal Putra yang diisi Jonatan Christie, Anthony Sinisuka Ginting, dan Chico Aura Dwi Wardoyo, dinilai belum menemukan pengganti sepadan. Harapan pada Chico untuk menjadi pelapis juga mulai pudar. “Rasanya gagal deh. Regenerasi lambat banget,” kata Yuli.
PBSI jelas butuh lebih dari sekadar legenda dan nama besar di jajaran pengurus. Diperlukan pola pembinaan yang modern, pengelolaan turnamen yang tepat, pendekatan sport science yang kuat, serta regenerasi berkelanjutan.
Jika tidak, bulutangkis Indonesia akan terus merosot, bahkan bisa kalah dari negara-negara yang dulu dianggap “kuda hitam”.
Kekalahan demi kekalahan, kritik publik yang kian tajam, serta tren penurunan prestasi yang konsisten menjadi alarm keras bagi PBSI. Jika tidak ada perubahan, bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan menjadi penonton di panggung bulutangkis dunia.