1446
1446

INDEF Usul Kebijakan Ekspansif untuk Tekan Gelombang PHK

Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengusulkan perlunya pendekatan kebijakan ekspansif agar dapat menekan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja.

“Pertama, kebijakannya (dari pemerintah) harus bersifat ekspansif, yaitu kebijakan yang lebih mendorong sektor riil untuk lebih bergeliat,” kata Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti di Jakarta, dikutip Selasa (4/3).

Kebijakan ekspansif diperlukan untuk menurunkan tingkat pengangguran dan merangsang aktivitas bisnis atau belanja. Dengan begitu diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil.

“Jika mengacu berdasarkan teori ekonomi, kalau perekonomian negara sedang di bawah, maka untuk menaikkannya adalah melalui expansive policy,” ujar dia.

Baca juga: Faisal Basri dalam Kenangan Tiga Ekonom Pendiri INDEF

Adapun beberapa hal dari kebijakan ekspansif yang menjadi rekomendasi Esther bisa dilihat melalui dua sisi, yaitu dari sisi fiskal dan moneter.

“Dari sisi fiskal, (pemerintah bisa) memberikan insentif pajak, atau melakukan implementasi stimulus infrastruktur (fiskal) seperti yang sudah dilakukan di tahun 2009,” kata Esther.

Ia melanjutkan target dari langkah tersebut adalah untuk penciptaan dan peningkatan daya serap tenaga kerja dan meredam PHK. Namun, langkah atau regulasi terkait nantinya harus bisa terukur.

Selain itu, kebijakan ekspansif juga bisa dilihat dari sisi moneter, di mana pemerintah menggunakan alat-alat seperti suku bunga untuk mengendalikan kinerja ekonomi.

“Misalnya ada insentif subsidi bunga untuk orang-orang (korban PHK) yang ada kredit di bank. Dari sisi kredit juga ada kelonggaran untuk mereka yang mau apply kredit di bank (untuk membuat usaha),” kata Esther.

Baca juga: Perekonomian RI Lesu: INDEF: Bereskan Dulu Masalah Ketenagakerjaan

Tak hanya itu, ekonom Universitas Diponegoro itu pun turut mendorong optimalisasi penggunaan kartu prakerja yang seharusnya bisa menjadi wadah perjodohan (matchmaking) antara calon pekerja, termasuk mereka yang terkena PHK, dengan industri atau perusahaan.

Menurut Esther, saat ini Kartu Prakerja malah lebih condong ke kemampuan yang diperlukan untuk berwirausaha.

“Selama ini kartu prakerja ini lebih ke entrepreneurship. Kalau menurut saya, tidak cukup untuk itu, tapi juga seharusnya dibuat untuk matchmaking program, perjodohan antara calon tenaga kerja dengan employer yang membutuhkan tenaga kerja. Peran pemerintah ada di situ,” pungkasnya.

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *