EKBIS

Minimalisir Risiko Kebun Sawit, Pakar Minta Perkuat Tata Kelola Berkelanjutan

Kebun kelapa sawit tergenang sisa banjir bandang terlihat dari Helikopter Caracal Skadron Udara 8 Lanud Atang Sendjaja di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025). Foto: Antara
Kebun kelapa sawit tergenang sisa banjir bandang terlihat dari Helikopter Caracal Skadron Udara 8 Lanud Atang Sendjaja di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025). Foto: Antara
apakabar.co.id, JAKARTA - Guru Besar Kebijakan Agribisnis IPB University Bayu Krisnamurthi menilai tata kelola yang berkelanjutan sangat penting agar bisa meminimalkan risiko yang timbul dari aktivitas di perkebunan sawit.

“Faktor kunci dalam pembukaan hutan menjadi kebun sawit adalah bagaimana prosesnya dan setelah itu bagaimana cara mengelolanya sehingga manfaatnya dapat dioptimalkan, risiko yang menyertainya dapat diminimalkan,” kata Bayu dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (10/12).

Ia menegaskan sawit memang bukan hutan, tetapi sebagai komoditas strategis yang memiliki kontribusi ekonomi besar, sekaligus tetap memiliki fungsi ekologis tertentu yang tidak boleh diabaikan.

“Di sini diperlukan melihat kelapa sawit secara proporsional sebagai komoditas strategis yang memberikan manfaat ekonomi besar, namun memiliki batas ekologis yang jelas,” ujar Bayu.
Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014 itu menyatakan bahwa sawit adalah pohon yang dapat tumbuh besar hingga berumur puluhan tahun dan mampu menyerap karbon dioksida melalui proses fotosintesis. Kelebihan lainnya adalah sawit juga bisa menyimpan karbon dalam batang pohonnya, serasahnya, dan buahnya.

Namun, Bayu menegaskan kebun sawit memang berbeda dengan hutan alam tropis. Menurutnya, kebun sawit yang memiliki sifat monokultur tidak bisa disamakan dengan hutan alam tropis yang majemuk, bertingkat tingkat, dengan aneka ragam pohon dan tanaman.

“Kebun sawit tidak sama dengan hutan alam dalam keanekaragaman hayatinya, dalam kemampuan ekologisnya, dalam kemampuan hidrologisnya,” ujarnya.

Meski demikian, Wakil Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu II tahun 2009-2011 itu juga menggarisbawahi manfaat ekonomi sawit bagi masyarakat dan menambah pendapatan daerah.

Industri sawit, katanya, menjadi tulang punggung ekonomi nasional dengan luas perkebunan mencapai lebih dari 16 juta hektare, mempekerjakan langsung maupun tidak langsung sekitar 16-20 juta orang, serta menghasilkan produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) lebih dari 50 juta ton per tahun yang menjadikan Indonesia sebagai produsen dan eksportir sawit terbesar di dunia.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut secara total produksi CPO dan PKO (palm kernel oil/minyak inti kepala sawit) tahun 2024 mencapai 52.762 ribu ton yang lebih rendah 3,80 persen dari produksi tahun 2023 sebesar 54.844 ribu ton.

Total konsumsi CPO dan PKO bulan Desember 2024 mencapai 2.187 ribu ton; lebih tinggi dari konsumsi bulan November yang mencapai 2.030 ribu ton.

Adapun, nilai ekspor yang dicapai pada tahun 2024 adalah 27,76 miliar dolar AS (Rp440 triliun), yang lebih rendah 8,44 persen dari ekspor tahun 2023 sebesar 30,32 miliar dolar AS (Rp463 triliun).