JPPI: Mahalnya Biaya Sekolah Picu Inflasi

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers rilis BPS di Jakarta, Senin (2/9/2024). Foto: BPS

apakabar.co.id, JAKARTA – Kornas Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji tidak menampik data BPS yang menyebut biaya pendidikan sebagai penyumbang utama inflasi Agustus 2024.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (2/9) membeberkan tren inflasi tertinggi terjadi pada biaya sekolah dasar sebesar 1,59 persen, diikuti biaya sekolah menengah pertama sebesar 0,78 persen, biaya akademi/perguruan tinggi 0,46 persen, serta biaya sekolah menengah atas 0,36 persen.

Menurut Ubaid, inflasi akibat sektor pendidikan sangat mungkin terjadi. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya lembaga pendidikan di Jakarta, khususnya sekolah dasar telah menaikkan iuran sekolah.

Lembaga Filantropi Dorong Transformasi Ekosistem Pendidikan di Indonesia

“Hal itu telah memicu inflasi pada Agustus 2024,” terang Ubaid di Jakarta, Selasa (3/9).

Dilihat dari kelompok pendidikan, komoditas utama penyebab inflasi pada Agustus 2024 adalah biaya iuran SD dan SMP.

Hal senada juga terjadi di Jawa Timur. Pada Juli 2024 inflasi mencapai 2,13 persen, dengan penghitungan pengeluaran terbesar di biaya pendidikan.

“Ini kenyataan aneh. Bagaimana bisa, pendidikan dasar yang mestinya wajib dibiayai dan ditanggung oleh pemerintah, kok malah jadi penyumbang inflasi terbesar,” tanya Ubaid.

Makan Bergizi Gratis, JPPI: Hanya Pencitraan dan Buang Anggaran Percuma

Tarif biaya sekolah yang terus meroket menunjukkan bahwa pemerintah belum melaksanakan amanah konstitusional pasal 31 UUD 1945 soal kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan bagi setiap warga negara.

Sementara itu, survei HSBC pada 2018 menunjukkan, Indonesia termasuk dalam 15 besar negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia. Rata-rata nasional, dari jenjang SD sampai Sarjana, membutuhkan biaya US$18.422 atau sekitar Rp287 juta.

Jumlah biaya itu tergolong lebih tinggi dari negara Perancis yang mencapai 17.708 atau sekitar Rp260 juta.

“Karena biaya pendidikan dasar masih tinggi, maka masih ditemukan jutaan anak-anak tidak bisa sekolah. Hal ini jelas berdampak pada keberlanjutan anak untuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi,” ujar Ubaid.

Penyediaan Alat Kontrasepsi di Sekolah, JPPI: Tidak Ada Manfaatnya

Ia menambahkan, “Puncak kesenjangan dan ketimpangan akan kian terlihat nyata di jenjang pendidikan tinggi.”

Sementara itu, hasil Survei Sosiekonomi Nasional (Susenas) 2023 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa hanya 10,15 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang mengenyam pendidikan tinggi.

Menurut Ubaid, hal itu terjadi karena dipicu oleh tiga faktor utama. Pertama, lemahnya political will pemerintah.

“Dalam mengurusi pendidikan, hingga kini pemerintah tidak punya peta jalan yang jelas mau dibawa kemana pendidikan kita ini. Tiap presiden punya agenda baru, pun menteri pendidikan baru punya program prioritas baru,” paparnya.

Beda Perhitungan Bappenas dan Kemendikbudristek, JPPI: Pemerintah Ingin Lari dari Kewajiban Konstitusional

Ini menyebabkan problem utama soal ketimpangan akses dan kesenjangan kualitas pendidikan menjadi problem warisan turun-temurun yang tak terselesaikan. Bahkan, pemerintah juga belum bisa mengelola dana pendidikan dengan baik.

“Jangankan sesuai sasaran dan tujuan, menyerap saja pemerintah masih kewalahan. Tahun 2023, ditemukan Rp111 trilliun anggaran pendidikan tak terserap. Hingga kini masih belum jelas, apa saja dan mengapa itu bisa terjadi,” terang Ubaid.

Faktor kedua terkait alokasi anggaran pendidikan yang salah sasaran. Anggaran pendidikan setiap tahun selalu naik, tapi hal itu belum menyelesaikan masalah dasar pendidikan soal kemudahan akses sekolah bagi semua anak, tanpa terkecuali.

“Anggaran pendidikan yang diwajibkan oleh konstitusi untuk pelaksanaan program wajib belajar dengan bebas biaya saja, tidak mampu dipenuhi. Yang ada malah sebagian besar anggaran pendidikan disunat oleh belanja pegawai dan juga belanja kementerian dan lembaga lain yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan,” ungkap Ubaid.

JPPI: Hanya Butuh 84 Triliun untuk Biayai Semua Anak di Sekolah Swasta

Sementara itu, tahun depan, kata Ubaid, anggaran pendidikan kembali disunat oleh agenda makan bergizi gratis. “Sampai kapan penganggaran yang salah sasaran ini akan diteruskan?” katanya.

Faktor ketiga, kebijakan komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Agenda komersialisasi dan privatisasi pendidikan begitu nyata dirasakan oleh masyarakat.

Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka peran pemerintah semakin kecil sementara peran swasta kian besar. Peran pemerintah semakin hari semakin menciut, sementara peran swasta dalam pendidikan kini dominan.

Hal ini bisa dilihat secara sederhana dari sisi jumlah lembaga pendidikan. Di jenjang pendidikan dasar jumlah SDN mencapai 75%, SMPN 42%, SMAN/SMKN 33%, dan PTN hanya 9% (BPS 2023).

“Tentu ini sangat merepotkan masyarakat golongan kelas menengah dan bawah. Mereka akan kesulitas akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena harus memenuhi tarif biaya pendidikan yang tambah mahal,” tandas Ubaid.

103 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *