Keadilan Iklim Sulit Terwujud selama Solusi Palsu dan Ekspansi Bisnis Dianggap Solusi

apakabar.co.id, JAKARTA – Perwakilan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) Sigit Budiono menyayangkan hasil Conference of the Parties (COP) 29, di Baku, Ibu Kota Azerbaijan.

Menurutnya, ketika negosiasi di COP29 berujung buntu, hal itu seakan membuktikan bahwa kesepakatan di Baku merupakan peristiwa yang buruk.

Hal itu terlihat ketika proyek krisis iklim ternyata tidak benar-benar mentransisikan perpindahan energi yang telah mendorong terjadinya krisis iklim.

Yang terjadi justru adanya upaya bisnis industri fosil dan solusi palsu krisis iklim dengan terbitnya investasi pada proyek-proyek seperti gas, geothermal, bendungan besar, REDD+, hingga pasar karbon di Indonesia.

“Proyek energi fosil yang salah satunya adalah gas fosil terus didorong sebagai sumber energi transisi. Hal itu untuk menggantikan sumber energi, seperti batu bara dan minyak,” ujar sigit dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (28/11).

Kendati penelitian mengonfirmasi bahwa gas dengan kandungan metana (CH4) sebagai sumber energi, namun pemanfaatannya harus dilakukan secara bijak. Pasalnya, gas metana berbahaya dan merusak iklim karena termasuk dalam gabungan gas rumah kaca (GRK).

Merujuk data badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) disebutkan bahwa metana adalah GRK antropogenik terbesar kedua setelah karbon dioksida (CO2). Jumlahnya tercatat sekitar 20 persen dari emisi global.

Metana lebih kuat 25 kali lipat dari karbon dioksida (CO2) dalam memerangkap panas di atmosfer,” jelas sigit.

Sementara itu, dalam 2 abad terakhir, konsentrasi metana di atmosfer meningkat lebih dari dua kali lipat. Perkembangannya seiring dengan pembangunan proyek-proyek fasilitas gasifikasi yang didorong secara luas.

Senada, hasil investigasi Ezra Hanif dari LPM Didaktika menunjukkan bahwa selain permasalahan terkait metana, proyek pembangunan Independent Power Producer (IPP) Jawa-1 telah menimbulkan sejumlah persoalan baru.

Pembangunan IPP Jawa-1 yang terdiri dari PLTGU 1.760 MW, penyimpanan gas terapung (Floating Storage and Regasification Unit/ FSRU), hingga jalur transmisi antara PLTGU dengan titik interkoneksi yang telah berdiri di wilayah muara Sungai Citarum, Cilamaya, dan Karawang.

Proyek tersebut telah berujung pada penggusuran nelayan dari wilayah tangkapnya, terganggunya keseimbangan ekosistem, 13 spesies fauna terancam, hingga timbulnya permasalahan kesehatan bagi warga sekitar.

Tak hanya itu, proyek IPP Jawa-1 telah menggusur wilayah pertanian rakyat di Karawang, hingga dugaan penghancuran situs sejarah yang berada di wilayah pembangunan proyek PLTGU.

Sementara di bagian hulu, kata Ezra, proyek eksplorasi hingga eksploitasi gas terus diperluas. Sebut saja, investasi pada proyek ladang gas Tangguh dengan perusahaan seperti British Petroleum, Proyek gas Masela, hingga Proyek Indonesia Deepwater Development.

Di saat yang bersamaan, janji kesejahteraan juga diluncurkan industri gas bagi masyarakat sekitar. Namun, yang terjadi tidak seperti yang dijanjikan. Kesejahteraan yang diharapkan tak kunjung terealisasi.

Yang terjadi justru krisis sosial-ekologis disertai kerusakan lingkungan. Masyarakat merasakan kehilangan penghidupan hingga penggusuran.

Senada, Riska Darmawanti dari Jaringan Kampanye DGI memperlihatkan dampak buruk proyek gas di Lapindo yang menjadi
monumen krisis sosial ekologis di Sidoarjo, Jawa Timur. Proyek tersebut menunjukkan betapa dampaknya terhadap masyarakat sangat merusak.

Pasca-kehilangan rumah dan sumber penghidupannya, warga yang bertahan kini terancam kesehatannya akibat pencemaran logam berat pada sumber air mereka.

“Namun proyek gas fosil hanyalah satu dari sekian banyak solusi palsu dari proyek penanganan krisis iklim,” terang Riska.

Bahkan poyek hydropower dengan bendungan besar, geothermal, hingga proyek carbon storage, papar Riska, telah diakselarasi untuk dikembangkan sebagai bussiness as usual. Konsep bisnis yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

Sementara itu, perwakilan Oil Change International, Hikmat Soeriatanuwijaya memaparkan bahwa Jepang selaku negara industri justru aktif menawarkan bisnis dan proyek solusi palsu seperti CCS-CCUS. Usulan itu, semata-mata untuk memperpanjang bisnis energi fosil dari batu bara hingga gas.

Sementara warga desa di mana proyek-proyek tersebut berada, harus menanggung dampak krisis lingkungan. Hal itu, sejalan dengan temuan-temuan Mongabay di lapangan.

Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia menuturkan konflik sosial akibat pembelahan warga oleh industri, pencemaran udara, air dan tanah akibat limbah proyek, hingga penggusuran jamak terjadi, seiring membesarnya program penanganan krisis iklim.

Temuan itu diamini Titi Soentoro dari Aksi! for gender, social and ecological justice. Dia mengungkapkan proyek-proyek pendanaan krisis iklim ternyata tidak berdampak pada perbaikan kondisi lingkungan.

Di satu sisi, kata Titi, dana iklim untuk negara berkembang perlu ditingkatkan dan di sisi lainnya, negara industri maju harus tetap bertanggung jawab.

Sementara di lain pihak, warga terdampak krisis iklim menghadapi realita bahwa pendanaan iklim lewat Green Climate Fund (GCF), ternyata justru dinikmati oleh Lembaga Keuangan Internasional (LKI) seperti Bank Dunia, ADB, GIZ, dan lainnya.

Lembaga internasional itu, ungkap Titi, telah mengatur solusi iklim palsu untuk kepentingan investasi industri negara maju itu sendiri.

“Yang terjadi, mereka malah membebani rakyat negara berkembang yang sedang mengalami krisis iklim,” tegasnya.

Karena itu, Titi mendesak pemerintah untuk segera melakukan aksi nyata dalam penanganan krisis iklim.

“Proyek-proyek investasi energi transisi palsu seperti gas fosil dan solusi palsu lainnya harus dihentikan,” tandasnya.

37 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *