Banner Iklan

100 Hari Pemerintahan Prabowo, Aktivis: Kebijakannya Mengarah pada Bunuh Diri Ekologi

Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) didampingi Menteri Pertahanan Arsip -Prabowo Subianto (kedua kiri) Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (tengah), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua kanan) meninjau kesiapan lahan pertanian yang akan dijadikan pengembangan 'food estate' di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Founder Indonesian Climate Justice Literacy Firdaus Cahyadi menilai kebijakan pembangunan pemerintahan Prabowo Subianto dalam 100 hari pertama, telah mengarah pada tindakan bunuh diri ekologi. Hal itu seiring penempatan persoalan lingkungan hidup barada di bawah kepentingan ekonomi jangka pendek.

 “Selama seratus hari, nampaknya kebijakan Prabowo Subianto mengarah pada tindakan bunuh diri ekologi,” ujar Firdaus Cahyadi kepada apakabar.co.id, Jumat (17/1).

Bunuh diri ekologi, menurut Firdaus Cahyadi, tampak dari berbagai pernyataan Presiden Prabowo Subianto dan para menterinya. Hal itu terlihat jelas dalam pidato pelantikan, ketika Prabowo Subianto mendeklarasikan arah pembangunannya akan bertumpu pada swasembada pangan, energi yang berskala besar dan melanjutkan hilirisasi mineral kritis.

Para pendukung pemerintah menilai kebijakan swasembada pangan, swasembada energi dan hilirisasi sebagai perwujudan dari ideologi nasionalisme, namun bila ditelisik secara mendalam, kata Firdaus Cahyadi, ketiga program andalan tersebut justru mengembalikan Indonesia ke era kolonial.

Penyebabnya, ketiga program andalan itu dibangun untuk melayani kepentingan pasar internasional dengan mengorbankan hak-hak masyarakat lokal atas lingkungan hidup yang sehat.

“Swasembada pangan yang digagas Prabowo Subianto, bertumpu pada pertanian skala besar atau sering disebut food estate. Program food estate membutuhkan banyak lahan yang berpotensi mengalihfungsikan hutan alam dan meningkatkan konflik agraria dengan masyarakat lokal,” jelasnya-

Hal serupa terjadi pada konsep swasembada energi. Prabowo Subianto, ujar Firdaus Cahyadi, lebih memilih energi berbasis biofuel, yang tentunya rakus terhadap lahan. “Hal itu berpotensi merusak lingkungan dan menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal,” terangnya.

Kerakusan lahan untuk proyek energi dan pangan di era pemerintahan Prabowo Subianto, terkonfirmasi dari pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Ia menjelaskan, pihaknya akan membuka lahan hutan cadangan seluas 20 juta hektare atau hampir 2 kali lebar Pulau Jawa untuk sumber ketahanan pangan dan energi.

“Peryataan Menteri Kehutanan itu muncul beberapa hari setelah Prabowo Subianto memberikan arahan di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) 2024 tentang pentingnya ekspansi sawit, tanpa takut deforestasi,” papar Firdaus Cahyadi.

Selain itu, Firdaus Cahyadi juga mengkritisi kebijakan hilirisasi mineral kritis (nikel) yang terbukti merusak alam, dimulai dari bagian hulu, ketika pertambangan nikel dimulai.

“Masyarakat di sekitar pertambangan nikel banyak mengalami kesulitan memperoleh udara dan air bersih,” jelasnya.

Untuk itu, Firdaus Cahyadi menyerukan agar kebijakan pembangunan yang mengarah pada upaya bunuh diri ekologi harus segera dihentikan. Pasalnya, lagi-lagi masyarakat yang akan menjadi korban.

“Jika publik terus mendiamkan upaya bunuh diri ekologi itu, cepat atau lambat publik sendiri yang akan menjadi korbannya,” tegasnya,

Firdaus Cahyadi menambahkan, “Aksi kolektif publik sangat diperlukan untuk menyelamatkan Indonesia dari bunuh diri ekologi ini.”

390 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *