apakabar.co.id, JAKARTA – Peringatan darurat tentang pemangkasan anggaran pendidikan, baik di Kemendikdasmen maupun Kemendiktisaintek pada Jumat 14 Februari 2025, telah membuat masyarakat bereaksi.
Salah satunya dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). JPPI menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam pengelolaan anggaran pendidikan Indonesia, bukan hanya terkait pemotongan, namun sejak tahap perencanaan.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengungkapkan, selain tanda peringatan darurat dengan garuda merah, tagar #SaveKIPKuliah dan #DaruratPendidikan juga ramai muncul di media sosial. Kebanyakan netizen menyampaikan rasa kekecewaannya disertai kritik tajam terhadap efisiensi anggaran pendidikan yang dikhawatirkan mengancam masa depan anak-anak Indonesia.
Atas fenomena yang terjadi, menurut Ubaid, salah satu kejanggalan yang perlu disoroti di antaranya alokasi anggaran yang salah sasaran. Dari total anggaran pendidikan tahun 2025 sebesar Rp724 triliun, Kemendikdasmen hanya menerima alokasi sebesar 4,63%, atau sekitar Rp33,5 triliun.
“Ini jadi pertanyaan besar, mengingat Kemendikdasmen memiliki tanggung jawab utama dalam memastikan hak pendidikan bagi anak-anak Indonesia, sebagaimana amanat Pasal 31 UUD 1945, serta menjalankan Wajib Belajar 13 tahun,” ujar Ubaid kepada apakabar.co.id di Jakarta, Sabtu (15/2).
Yang bikin ironi, dari anggaran yang minim tersebut, kata Ubaid, Kemendikdasmen masih mengalami pemotongan sebesar Rp7,2 triliun dengan alasan efisiensi.
“Ini menunjukkan lemahnya visi presiden terhadap pendidikan. Bisa jadi, pendidikan memang tidak jadi prioritas utama dalam pemerintahan saat ini,” jelasnya.
Ubaid menanyakan, “Lalu, sebenarnya ke mana arah pendidikan kita?”
Kejanggalan berikutnya terkait pernyataan kontradiktif pemerintah. Pernyataan pemerintah terkait pemotongan anggaran pendidikan telah membingungkan masyarakat. Pasalnya, saat rapat dengan Komisi X DPR, Menkeu Sri Mulyani menyatakan tidak ada pemotongan anggaran untuk beasiswa dan KIP. Hanya saja, fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda.
Dalam paparan Kemendiktisaintek, jelas disebutkan bahwa dari 844.174 mahasiswa penerima KIP-Kuliah yang masih berkuliah (on going), sebanyak 663.821 mahasiswa tidak akan menerima dana KIP-Kuliah pada tahun 2025. Ini artinya, ada ratusan ribu mahasiswa bakal putus kuliah akibat tidak memiliki pendanaan.
Hal serupa terjadi di Kemendikdasmen. Saat rapat dengan Komisi X DPR RI, disampaikan bahwa sejumlah program beasiswa juga terdampak, seperti Beasiswa Unggulan, Beasiswa Darmasiswa, dan Beasiswa Indonesia Maju.
Menurut Ubaid, sepertinya antarkementerian belum memiliki kesepahaman yang jelas. Akibatnya, masyarakat dibuat bingung. Pemerintah seharusnya transparan dan tidak menutupi fakta yang ada.
“Ini membuktikan bahwa tata kelola anggaran pendidikan kita masih semrawut, dan tidak terkoordinasi dengan baik,” terang Ubaid.
Pemangkasan anggaran dipastkan berdampak pada berkurangnya jumlah penerima bantuan pendidikan. Program Indonesia Pintar (PIP) yang selama ini membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu akan mengalami penurunan jumlah penerima.
Tahun 2024, jumlah penerima PIP tercatat sebanyak 18,6 juta siswa. Khusus di tahun 2025, jumlahnya turun menjadi 17,9 juta siswa, sebagaimana terungkap dalam paparan Kemendikdasmen di Komisi X DPR RI.
“Meski pemerintah mengeklaim tidak ada pemotongan dana PIP, tapi mengapa jumlah penerimanya berkurang dibanding tahun lalu?” tanya Ubaid. Ini tentu meresahkan masyarakat, mengingat masih banyak kasus penghentian bantuan PIP serta penyalahgunaan dana.
Di tingkat perguruan tinggi juga serupa. Pemangkasan anggaran telah memukul mahasiswa penerima KIP-Kuliah. Sebanyak 663.821 mahasiswa penerima KIP-K terancam tidak lagi bisa melanjutkan studi, karena terancam mendapatkan pendanaan.
“Ini adalah situasi darurat yang harus ditindaklanjuti segera oleh pemerintah,” pungkasnya.