Kecewanya Warga Gibran Batal ke Muara Kate Kaltim

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA – Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, dikabarkan membatalkan rencana kunjungannya ke Dusun Muara Kate, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Padahal, warga menanti kehadirannya untuk melihat langsung dampak konflik berkepanjangan akibat aktivitas hauling batu bara di jalan umum.

Informasi rencana kunjungan tersebut diterima langsung oleh Kepala Penerangan Kodam VI/Mulawarman, Kolonel Kristiyanto, Rabu (11/6).

“Ya, kami sudah dengar kabarnya. Cuma waktunya masih tentatif. Informasinya juga ke Muara kate,” tambahnya.

Ia memastikan persiapan pengamanan VVIP sempat dilakukan oleh jajarannya. Namun pada sore harinya, pihaknya menerima kabar pembatalan kunjungan.

“Iya, tidak jadi. Kami dapat informasi seperti itu dari Setmilpres,” jelasnya.

Jika tidak dibatalkan, Gibran rencananya akan tiba di Banjarmasin esok, lalu berlanjut dan menginap di Tabalong sebelum ke Muara Kate.

Terpisah, kabar kedatangan Gibran ke Muara Kate juga didengar oleh Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji. “Ya saya juga diminta ke sana, besok sore,” kata Seno kepada media ini.

Warga Kecewa

Kabar soal kedatangan Wapres sempat menyebar ke warga Muara Kate. Bagi mereka, kehadiran Gibran menjadi harapan agar negara benar-benar turun tangan menyelesaikan konflik.

“Harapan kami, dengan datangnya Wapres, pengungkapan kasus pembunuhan tetua adat kami bisa dipercepat supaya warga merasa tenang dan tidak harus waswas akan teror susulan,” kata Warta Linus, perwakilan warga Muara Kate, dikontak terpisah.

Warta juga menyuarakan dua tuntutan mendasar warga, pertama agar pemerintah menegakkan aturan pelarangan hauling batu bara di jalan umum. Dan kedua, pemerintah mendesak perusahaan tambang membangun jalan khusus hauling agar tidak memicu konflik antarwarga.

Konflik Lama yang Terabaikan

Perseteruan antara warga dan aktivitas hauling tambang di kawasan Batu Kajang hingga Muara Kate telah berlangsung bertahun-tahun. Akhir 2023, warga mulai gencar melakukan aksi karena jalan umum rusak parah dan sering menelan korban.

Mei 2024: Ustaz muda bernama Teddy tewas di Songka, diduga tertabrak truk hauling.

Oktober 2024: Pendeta Veronika meninggal di Marangit, setelah truk batu bara gagal menanjak.

November 2024: Posko warga di Muara Kate diserang dini hari. Bocah 6 tahun, Russell, tewas. Saudaranya, Anson, luka berat. Pelaku belum tertangkap.

Juni 2025: Warga menjaring 50 truk hauling berpelat Kalimantan Selatan yang melintasi jalan negara di Muara Kate, wilayah perbatasan Kaltim–Kalsel.

Aksi warga dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap pembiaran pelanggaran hukum. Hauling di jalan umum melanggar Perda Kaltim No. 10 Tahun 2012 dan UU Minerba No. 3 Tahun 2020.

Lembaga Bantuan Hukum Samarinda menyayangkan pembatalan kunjungan Gibran. Menurut mereka, konflik ini bukan sekadar urusan lalu lintas, tapi sudah menyentuh isu pelanggaran HAM dan hak atas lingkungan hidup yang sehat.

“Harapan kami, Wapres bisa memberi atensi terhadap tragedi kemanusiaan ini. Pemerintah harus menghentikan praktik hauling di jalan umum dan menghentikan intimidasi terhadap masyarakat yang melakukan penolakan. Mereka adalah pejuang lingkungan dan HAM,” tegas LBH Samarinda.

Demo Tandingan dan Ancaman Konflik Horizontal

10 Juni 2025, ratusan sopir dan truk batu bara merespons penolakan warga dengan menggelar demo tandingan di Simpang Tokare, Batu Kajang, Kabupaten Paser. Mereka menuntut agar warga memperbolehkan penggunaan jalan umum sebagai lintasan hauling.

Peneliti NUGAL Institute, Merah Johansyah, menyebut konflik ini sebagai bom waktu yang dibiarkan membesar. Ia menilai sikap diam BBPJN dan aparat sebagai bentuk kelalaian yang disengaja.

“Kalau terus berulang dan BBPJN nggak bertindak padahal sudah tahu persoalannya, ini namanya repeating negligence,” kata Merah, dihubungi media ini, Minggu (8/6).

Ia membandingkan pola ini dengan kejadian di Jambi dan Sumatera Selatan, di mana perusahaan tambang diduga membiarkan konflik horizontal demi menghindari kewajiban membangun jalan sendiri.

“Siapa yang untung? Ya perusahaan tambang. Mereka yang panen cuan, rakyat saling bentrok,” ujarnya.

Merah menegaskan, bila terjadi bentrokan antara warga penolak tambang dan sopir hauling, yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah negara.

“Kalau terjadi konflik horizontal antara warga penolak tambang dengan sopir hauling, maka yang harus dituntut adalah pemerintah dan aparat,” tegasnya.

76 kali dilihat, 76 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *