BRIN Ingatkan Ancaman Megathrust di Selatan Jawa, Tinggi Gelombang 20 Meter

Sejumlah wisatawan menaiki wahana banana boat di Pantai Carita, Pandeglang, Banten, Sabtu (2/11/2024). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten secara kumulatif jumlah perjalanan wisatawan nusantara tujuan Banten pada bulan Januari hingga September 2024 mencapai 35,74 juta perjalanan atau meningkat 13,08 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023, sementara kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 1.886.886 kunjungan atau meningkat 33,61 persen dari tahun sebelumnya. Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nuraini Rahma Hanifa, mengajak masyarakat untuk waspada terhadap potensi bencana gempa megathrust di selatan Jawa.

Hal itu diutarakan Nuraini Rahma saat menjadi pembicara dalam kegiatan mengenang 20 tahun tsunami Aceh, di Banda Aceh pada Kamis (26/12/2024).

Berdasarkan riset, kata Nuraini Rahma, segmen megathrust di selatan Jawa menyimpan energi tektonik yang signifikan dan berpotensi menyebabkan gempa berkekuatan hingga 9,1 magnitudo. Hal itu dapat memicu tsunami hingga Jakarta dalam waktu sekitar 2,5 jam.

“Gempa megathrust di selatan Jawa bisa saja terjadi dan memicu tsunami dengan skala serupa di Aceh” ujarnya.

Hal ini, menurut Nuraini Rahma, perlu menjadi perhatian serius dari para pemangku kepentingan dan masyarakat luas, sehingga mitigasi risiko dampak bencana bisa dilakukan secara cermat.

BRIN juga menekankan pentingnya mitigasi bencana melalui pendekatan struktural seperti pembangunan tanggul penahan tsunami, serta pendekatan non-struktural seperti edukasi mitigasi dan simulasi evakuasi. Untuk daerah perkotaan seperti Jakarta, retrofitting atau penguatan struktur bangunan sangat penting untuk mengurangi dampak gempa.

Dari simulasi yang dilakukan BRIN bersama peneliti dari sejumlah institusi, jelas Nuraini Rahma, ketinggian gelombang diperkirakan mencapai 20 meter untuk wilayah pesisir selatan Jawa, 3–15 meter di Selat Sunda, dan setinggi 1,8 meter di pesisir utara Jakarta. Dengan demikian, tsunami telah terjadi.

Penelitian juga menunjukkan bahwa fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah di Indonesia. Contohnya tsunami Pangandaran 2006 yang dipicu oleh marine landslide di dekat Nusa Kambangan. Hal itu terjadi karena energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu.

“Jika dilepaskan sekaligus, goncangan yang terjadi akan memicu tsunami yang akan berdampak luas. Tidak hanya di selatan Jawa namun juga di wilayah pesisir lainnya,” imbuh Nuraini Rahma.

Karena itu, BRIN menekankan tentang pentingnya mitigasi bencana melalui pendekatan struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural yang dimaksud meliputi pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, termasuk penataan ruang di kawasan pesisir dengan memperhatikan jarak aman 250 meter dari bibir pantai.

“Pembangunan hutan di wilayah pesisir atau vegetasi alami, seperti pandan laut dan mangrove juga solusi berbasis ekosistem. Itu untuk meredam energi gelombang tsunami,” papar Rahma.

Sedangkan pendekatan non-struktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, hingga penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai.

“Kita harus pastikan warga memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, termasuk kemampuan merespons secara cepat,” ujarnya.

Khusus di wilayah perkotaan seperti Jakarta, dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan sedimen tanah yang rentan mengamplifikasi goncangan, upaya mitigasi gempa yang bisa dilakukan, mencakup retrofitting atau penguatan struktur bangunan.

“Retrofitting jadi sangat penting, utamanya bagi bangunan di kawasan padat penduduk. Itu arena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan jatuhya korban jiwa,” papar Nuraini Rahma.

Untuk wilayah industri seperti Cilegon, potensi gempa juga dikhawatirkan berpotensi memicu kebakaran, seiring kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik-pabrik besar. Hal itu menjadi salah satu bahaya sekunder (secondary hazard) yang perlu diantisipasi melalui penerapan standar keamanan yang ketat.

Penelitian BRIN melalui melalui paleotsunami, telah menunjukkan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode berulang sekitar 400–600 tahun. Adapun energi saat ini telah mencapai titik kritis.

“Bencana tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi merupakan kunci untuk menyelamatkan nyawa,” tegas peneliti BRIN itu.

Melalui kerja sama dengan berbagai institusi, seperti KKP, BMKG dan lembaga lainnya, BRIN terus memperkuat sistem peringatan dini tsunami, khususnya di wilayah Selat Sunda dan selatan Jawa.

Hal ini merupakan upaya penting untuk menyelamatkan nyawa dan mengurangi dampak bencana. Juga sekaligus menunjukkan betapa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana harus selalu ditingkatkan.

“Salah satu upaya yang dilakukan adalah memasang sensor deteksi perubahan muka air laut di kawasan rawan tsunami,” tandasnya.

248 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *