apakabar.co.id, JAKARTA – Gelombang protes revisi RUU Pilkada memadati depan Gedung DPR RI di Senayan, Jakarta, Kamis (22/8). Salah satunya ada komika Mamat Alkatiri.
Ia sangat lantang menyuarakan penolakan terhadap rencana DPR menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pilkada.
Mamat, yang dikenal dengan gaya satir dan kritik sosialnya, kali ini membawa pesan lebih serius dan menggugah perlawanan terhadap elit politik yang dinilai telah mengkhianati prinsip demokrasi.
Dalam orasinya, Mamat menegaskan pentingnya persatuan dan solidaritas di antara rakyat dalam menghadapi rencana DPR yang dinilainya sebagai langkah berbahaya untuk melanggengkan kekuasaan melalui manipulasi aturan Pilkada.
“Hanya satu kata, apa?” tanya Mamat dengan nada penuh semangat, yang segera disambut dengan teriakan massa, “Lawan!” Teriakan ini menggema, menandakan betapa besar kemarahan dan kekecewaan rakyat terhadap para wakil mereka di parlemen.
Protes ini tidak hanya sekadar menolak pengesahan revisi UU Pilkada, tetapi juga menyuarakan ketidakpuasan terhadap apa yang dianggap sebagai “akrobat politik” yang dipertontonkan oleh DPR.
Dewan yang seharusnya menjadi benteng demokrasi justru dianggap telah mempermainkan hukum dan merusak integritas proses demokratis dengan mengubah aturan-aturan krusial dalam Pilkada, termasuk ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas usia calon kepala daerah.
Keputusan kontroversial ini diambil hanya sehari setelah putusan MK yang mengubah syarat usia minimum calon kepala daerah dari saat pelantikan menjadi saat penetapan calon oleh KPU.
Namun, dengan cepat DPR, melalui panitia kerja (panja) badan legislasi (baleg), mengubah kembali aturan tersebut, sebuah langkah yang dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk pengingkaran terhadap keputusan lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia.
Tidak hanya itu, revisi UU Pilkada yang dibahas dan disahkan dalam waktu singkat ini juga mencerminkan bagaimana proses legislasi sering kali menjadi alat bagi kekuatan politik tertentu untuk mengamankan kepentingan mereka.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen DPR terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan kepentingan rakyat yang mereka wakili.
Mamat Alkatiri, dalam orasinya, menyerukan agar rakyat tidak diam dan menerima begitu saja keputusan yang diambil oleh elit politik di Senayan.
“Ini bukan hanya soal Pilkada, ini soal masa depan demokrasi kita,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa kekuatan rakyat ada pada suara dan aksi mereka, dan inilah saatnya untuk menunjukkan bahwa rakyat tidak akan membiarkan demokrasi mereka dirusak oleh kepentingan sempit para elit.
Demonstrasi ini, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, buruh, dan aktivis, menjadi bukti bahwa rakyat masih memiliki semangat juang untuk mempertahankan demokrasi.
Mereka tidak hanya menolak revisi UU Pilkada, tetapi juga menuntut agar DPR mematuhi putusan MK dan berhenti memanipulasi aturan demi kepentingan politik jangka pendek.
Mamat Alkatiri, dengan caranya yang khas, berhasil menyuarakan kegelisahan banyak orang dan mengingatkan kita semua bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-menawar oleh segelintir orang di puncak kekuasaan.
Demokrasi adalah milik rakyat, dan rakyatlah yang seharusnya menentukan arah dan masa depan negara ini.