Gibran Respons Perjuangan Warga Muara Kate Kaltim

apakabar.co.id, JAKARTA – Pemerintah pusat akhirnya memberi perhatian terhadap perjuangan warga Muara Kate, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, yang menolak aktivitas hauling batu bara di jalan negara. Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, mengirimkan bantuan langsung sebagai bentuk dukungan.

“Benar, Wapres Gibran memberi atensi penuh untuk perjuangan warga Muara Kate,” ujar Mei Christy, aktivis Dayak sekaligus pendamping warga, saat dihubungi Kamis petang (12/6).

Pekan sebelumnya, Mei bertemu langsung dengan Gibran di Istana Negara. Ia menyampaikan langsung tragedi berdarah yang menewaskan Russell (60) dan melukai Anson (55) pada 15 November 2024, dua tokoh penolak hauling.

Sampai kini pembunuh Russell masih berkeliaran. Ironisnya, para pelaku hauling terus menerus mencoba melintasi jalan negara. Sejatinya, Perda Kaltim Nomor 10 Tahun 2012 sebagai turunan dari UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 telah mewajibkan agar aktivitas tambang menggunakan jalan khusus sendiri.

Mendengar laporan tersebut, Gibran sempat berencana terjun langsung ke Muara Kate. Namun, kemarin rencana itu batal di menit terakhir. Sebagai gantinya, ia mengutus sejumlah pejabat dari Sekretariat Wapres.

Al Muktabar – Plt. Kepala Sekretariat Wapres

Sapto Harjono Wahjoe Sedjati – Deputi Bidang Administrasi

Dadan Wildan – Deputi Dukungan Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan dan SDM

Aldi Yarman – Analis Madya Setwapres

Rombongan istana memberikan bantuan berupa ratusan paket sembako, alat tulis, dan perlengkapan wanita kepada warga. “Ini bentuk lanjutan dari pertemuan saya dengan Pak Wapres. Beliau tanya soal kondisi Kalimantan secara umum, lalu saya lapor soal Muara Kate. Beliau langsung merespons dan memerintahkan tim investigasi ke lapangan,” jelas Mei.

“Yang beliau minta, usut tuntas kasus pembunuhan Paman Russell sampai ke dalangnya, dan setop hauling di jalan negara,” sambung Mei.

Negara Harus Hadir

Kemarin, kabar rencana kedatangan Gibran sempat menyebar di Muara Kate. Warga menganggap kehadiran putra sulung Presiden Jokowi itu sebagai sinyal negara akhirnya peduli.

“Harapan kami, kasus pembunuhan tetua adat kami bisa segera diungkap, agar warga tenang dan tidak dihantui teror susulan,” kata Warta Linus, perwakilan warga, saat dihubungi terpisah.

Selain pengusutan kasus Russell, warga juga menyampaikan dua tuntutan utama. Agar, pemerintah menegakkan larangan hauling batu bara di jalan umum. Dan, perusahaan tambang membangun jalan khusus hauling untuk mencegah konflik antarwarga.

Konflik Lama yang Dibiarkan Membusuk

Konflik antara warga dan aktivitas hauling tambang di kawasan Batu Kajang–Muara Kate telah berlangsung bertahun-tahun. Sejak akhir 2023, aksi penolakan makin intens karena jalan rusak parah dan kerap menimbulkan korban jiwa.

1 Mei 2024: Ustaz Teddy tewas di Songka, diduga tertabrak truk hauling.

Oktober 2024: Pendeta Veronika meninggal di Marangit akibat truk batu bara gagal menanjak.

15 November 2024: Posko warga di Muara Kate diserang dini hari. Russell (6 tahun) tewas, saudaranya Anson luka berat. Pelaku belum tertangkap.

2 Juni 2025: Warga menyita 50 truk hauling berpelat Kalsel yang melintasi jalan negara di Muara Kate.

Aksi warga dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap pembiaran pelanggaran hukum. Padahal hauling di jalan umum jelas melanggar Perda Kaltim No. 10 Tahun 2012 dan UU Minerba No. 3 Tahun 2020.

LBH: Ini Soal HAM dan Lingkungan Hidup

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda menyayangkan pembatalan kunjungan langsung Wapres Gibran. Menurut mereka, konflik ini bukan semata soal lalu lintas, tapi sudah masuk ranah pelanggaran HAM dan hak atas lingkungan hidup.

“Pemerintah harus menghentikan praktik hauling di jalan umum dan menghentikan intimidasi terhadap warga. Mereka adalah pejuang lingkungan dan HAM,” tegas LBH Samarinda.

Demo Tandingan: Bom Waktu di Jalan Negara

Tanggal 10 Juni 2025, ratusan sopir truk batu bara menggelar aksi tandingan di Simpang Tokare, Batu Kajang. Mereka menuntut agar warga tak menghalangi penggunaan jalan umum sebagai jalur hauling.

Peneliti NUGAL Institute, Merah Johansyah, menyebut konflik ini sebagai bom waktu yang sengaja dibiarkan.

“Kalau terus berulang dan BBPJN tidak bertindak padahal sudah tahu persoalannya, ini namanya repeating negligence,” ujarnya.

Merah membandingkan kasus ini dengan pola serupa di Jambi dan Sumatera Selatan. Di sana, perusahaan tambang diduga membiarkan konflik horizontal demi menghindari kewajiban membangun jalan khusus.

“Siapa yang untung? Perusahaan tambang. Mereka panen cuan, rakyat yang saling bentrok,” ujarnya.

Ia menegaskan, bila konflik horizontal pecah, negara tak bisa lepas tangan.

“Kalau terjadi bentrokan antara warga penolak tambang dan sopir hauling, yang harus dituntut adalah pemerintah dan aparat,” tegas Merah.

 

59 kali dilihat, 59 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *