NEWS

ICJL: Kebijakan IUP untuk Koperasi dan Ormas Adalah Bunuh Diri Ekologi

PP Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara telah membuka peluang bagi koperasi dan ormas untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan (IUP) mineral dan batu bara hingga seluas 2.500 hektare.
Penambangan batu bara terbuka dengan dump truck membelakanginya. Foto: wikipedia.org
Penambangan batu bara terbuka dengan dump truck membelakanginya. Foto: wikipedia.org
apakabar.co.id, JAKARTA - Pemerintah secara resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara. Aturan itu telah membuka peluang bagi koperasi dan organisasi masyarakat (Ormas) untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan (IUP) mineral dan batu bara hingga seluas 2.500 hektare.

Namun, kebijakan ini mendapat penolakan keras dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Indonesia Climate Justice Literacy (ICJL), sebuah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup.

Pendiri ICJL, Firdaus Cahyadi, menyebut aturan tersebut berpotensi besar merusak lingkungan dan memperparah krisis ekologi di Indonesia. “Narasi pemerataan ekonomi yang digaungkan pemerintah sebenarnya hanya cara halus untuk menormalisasi kebijakan yang merusak alam,” ujarnya di Jakarta, Jumat (10/10).

Menurut Firdaus, sektor pertambangan tetap memiliki risiko lingkungan yang sangat tinggi, siapa pun pengelolanya. Ia menilai, luasan 2.500 hektare bukanlah skala kecil jika dilihat dari sudut pandang ekologi. 

“Area sebesar itu bisa menyebabkan degradasi hutan, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati secara masif,” tegasnya.

Atas polemik tersebut, ICJL menyoroti tiga kekhawatiran utama dari aspek lingkungan terkait kebijakan ini. Pertama, kapasitas pengelolaan lingkungan yang diragukan. Mengelola tambang seluas 2.500 hektare memerlukan keahlian teknis dan modal besar untuk melakukan reklamasi pasca-tambang, mitigasi polusi air asam tambang, serta pengelolaan limbah berbahaya. 

Koperasi dan UMKM belum tentu memiliki sumber daya dan struktur tata kelola yang memadai. Risiko kegagalan reklamasi dan pencemaran permanen sangat tinggi,” jelas Firdaus.

Kedua, potensi konflik sosial akibat alih fungsi lahan. Pemberian IUP kepada koperasi atau ormas tanpa mekanisme tender terbuka berisiko membuka wilayah konservasi atau lahan produktif yang sebelumnya dilindungi. 

“Kebijakan ini bisa memicu konflik agraria dan tumpang tindih lahan, bahkan merugikan masyarakat adat serta petani lokal,” ujarnya. 

Firdaus Cahyadi juga menilai kebijakan tersebut akan mempercepat laju deforestasi demi keuntungan ekonomi jangka pendek.

Ketiga, lemahnya regulasi dan pengawasan pemerintah. Menurut Firdaus, ketika banyak entitas kecil diberi izin tambang, pengawasan akan menjadi tidak efektif dan terfragmentasi. 

Hal ini berpotensi membuka peluang besar bagi praktik penambangan tidak bertanggung jawab, bahkan penambangan ilegal terselubung. "Dampak lingkungannya bisa jauh lebih parah dibandingkan operasi perusahaan besar yang wajib memiliki AMDAL dan pengawasan ketat,” paparnya.

Untu itu, Firdaus meminta, pemerintah tidak seharusnya menukar kesehatan ekosistem dengan janji ekonomi yang rapuh. 

Lingkungan hidup adalah modal utama kita. Membuka keran tambang secara masif sama saja dengan melakukan bunuh diri ekologi yang akan membawa bencana bagi generasi mendatang,” tutupnya.