Indikator Usang, Data Kemiskinan Kaltim Dinilai Tak Realistis

Foto ilustrasi kemiskinan. Foto: Antara

apakabar.co.id, SAMARINDA – Penurunan angka kemiskinan di Kalimantan Timur versi Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai menyesatkan. Ekonom Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menyebut standar penghitungan yang dipakai sudah ketinggalan zaman dan tak mencerminkan kondisi nyata di lapangan.

Data terbaru BPS menyebut jumlah penduduk miskin di Kaltim per Maret 2025 sebanyak 199,71 ribu jiwa atau 5,17 persen dari populasi. Angka itu turun dari 5,51 persen pada September 2024. Tapi bagi Purwadi, angka itu tidak mencerminkan realitas.

“Indikator yang dipakai itu metode usang. Tidak sesuai kenyataan sekarang,” katanya, Selasa (29/7).

Baca juga: Celios: BPS Perlu Perbarui Metode Pengukuran Data Kemiskinan

Baca juga: Pemerintah Klaim Data BPS Lebih Cerminkan Kemiskinan RI

BPS masih memakai ambang 1,9 dolar AS per hari—sekitar Rp20 ribu—sebagai garis kemiskinan. Padahal, Bank Dunia sudah merevisi ambangnya menjadi 3,2 hingga 6 dolar per hari. “Kalau pakai standar baru, angka kemiskinan bisa melonjak sampai 63 persen,” sebutnya.

Ia juga menyoroti janji BPS yang sebelumnya akan merilis indikator baru pada Juli 2025, namun hingga rilis 25 Juli lalu, standar lama tetap digunakan. “Awalnya dijanjikan awal Juli, lalu pertengahan Juli, akhirnya keluar tapi indikatornya tetap. Itu mengecewakan,” ujar Purwadi.

Menurutnya, penggunaan indikator lama berisiko menyebabkan bantuan sosial dan program pengentasan kemiskinan salah sasaran. “Kalau dari 100 orang miskin yang terdata cuma 25, berarti 75 lainnya tak dapat bantuan. Ini masalah serius,” tegasnya.

Baca juga: Memahami Ukuran Kemiskinan BPS dan Bank Dunia

Baca juga: BPS Belum Menyesuaikan Ukuran Kemiskinan Ekstrem

Ia juga menyoroti ketimpangan biaya hidup di daerah. “Rp20 ribu di Balikpapan atau Samarinda belum tentu cukup makan sehari. Apalagi di Mahakam Ulu. Harga kebutuhan pokok di sana jauh lebih mahal,” katanya.

Purwadi menyindir pemerintah yang mengklaim Indonesia sudah masuk kategori negara berpenghasilan menengah, tapi masih memakai indikator rendah. “Ngakunya kelas menengah, tapi pakai ukuran zaman dulu. Ibarat ngaku makan keju, padahal singkong,” tukasnya.

Ia bahkan mendorong evaluasi menyeluruh terhadap BPS. “BPS harus turun ke lapangan, bukan bikin data pakai Google Maps,” ujarnya. Purwadi menyarankan adanya gugatan akademik jika indikator tak segera diperbarui.

“Kita ini ibarat sakit jantung stadium tujuh, tapi dikasih paracetamol. Gimana bisa sembuh?” pungkasnya.

16 kali dilihat, 16 kunjungan hari ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *