Ironi Transportasi Kaltim: Yang Mewah Pejabat, Yang Susah Rakyat

apakabar.co.id, JAKARTA – Di Kalimantan Timur, pemerintah menggelontorkan miliaran rupiah tiap tahun untuk ongkos kendaraan dan perjalanan dinas para pejabat. Sementara warga harus berjalan sendiri dengan kondisi pelayanan yang jauh dari kata layak.

Warga sendiri harus berjuang dengan angkot tua, tarif mahal, dan waktu tunggu yang menyiksa. Ketimpangan ini menegaskan ironi mobilitas di provinsi penghasil energi terbesar di Indonesia.

Data Diskominfo Kaltim mencatat, pada 2023 sektor transportasi menyumbang Rp 8,39 triliun dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 10,88 triliun. Tapi tak satu rupiah pun dialokasikan untuk layanan angkutan umum.

Sebaliknya, ratusan miliar digelontorkan untuk kendaraan dinas dan ongkos perjalanan pejabat.

Pemprov Kaltim menghabiskan lebih dari Rp 420 miliar per tahun hanya untuk kendaraan pejabatnya. Setiap kabupaten dan kota juga menghabiskan rerata Rp 40–41 miliar untuk pos serupa.

Biaya perjalanan dinas pun tak kalah mencolok—hotel bisa ditagih hingga Rp 9 juta per malam, belum termasuk uang saku.

Sementara itu, warga di Samarinda dan Balikpapan, dua kota terpadat di provinsi ini, harus bertumpu pada moda yang kian usang. Load factor angkot hanya 25–40 persen.

Pendapatan operator jeblok, sehingga mereka cenderung ngetem terlalu lama demi penumpang penuh. Waktu tunggu mencapai 30 menit, layanan jadi tak andal, dan warga pun memilih ojek online meski lebih mahal.

Tarif angkot kini Rp 5.000 sekali jalan. Tapi dengan armada yang makin langka dan pelayanan buruk, beban mobilitas makin berat. Riset Gultom dan Surya (2023) mencatat, 90 persen keluarga Samarinda memiliki setidaknya satu motor, dan 40 persen punya dua.

Biaya transportasi rumah tangga pun menembus Rp 2 juta per bulan. Dengan rata-rata pendapatan Rp 5 juta, artinya 40 persen penghasilan warga habis di jalan.

“Kalau biaya transportasi bisa ditekan ke 20 persen, masyarakat bisa menghemat Rp 1 juta setiap bulan. Itu bisa dialihkan ke pendidikan atau kesehatan anak,” kata Tiopan H.M. Gultom, akademisi transportasi dari Universitas Mulawarman yang juga Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Kaltim.

Masalah ini bukan sekadar ketimpangan angka, melainkan soal keberpihakan. Pejabat menikmati mobil dinas mewah dan ongkos transportasi yang ditanggung negara. Sementara rakyat harus berjalan sendiri, membayar sendiri, dan tetap tidak mendapatkan layanan yang layak.

Riset Cornell University bahkan menemukan rumah tangga miskin di kota besar cenderung bermobilitas lebih sedikit, menempuh jarak lebih pendek, dan menghabiskan waktu lebih lama di perjalanan. Ini berdampak langsung pada kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan.

MTI Kaltim menyerukan reformasi anggaran transportasi daerah. Program pengembangan angkutan umum harus dimasukkan dalam RPJMD dan dijadikan indikator kinerja kepala daerah. Dana dari pajak kendaraan, bea balik nama, dan pajak bahan bakar semestinya dikembalikan dalam bentuk layanan angkutan umum yang terjangkau dan andal.

Anggaran mobil dinas pun sebaiknya dialihkan untuk modernisasi angkot dan perbaikan infrastruktur seperti halte, jalur pedestrian, dan konektivitas antar moda.

“Saatnya pemerintah tidak hanya membangun jalan untuk kendaraan para pejabat, tapi juga memastikan rakyat bisa memanfaatkannya melalui angkutan umum yang layak,” tutup Gultom.

 

14 kali dilihat, 14 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *