News  

MK: Keberadaan Kompolnas Tak Bertentangan dengan UUD 1945

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh (kiri) dan Guntur Hamzah (kanan) memimpin sidang perdana perselisihan hasil pemilihan pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/1/2025). Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (PHPU Pilkada) 2024 dengan total 310 perkara dengan rincian 23 perkara terkait pemilihan gubernur, 238 pemilihan bupati, dan 49 pemilihan wali kota. Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945.

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan Kompolnas memang bukan lembaga yang disebut dalam UUD. Walaupun demikian, hal tersebut tidak serta-merta menjadikan Kompolnas bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional.

“Walaupun keberadaan Kompolnas dan beberapa lembaga lain tidak diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945, hal demikian tidak lantas menjadikan lembaga-lembaga tersebut, termasuk Kompolnas, menjadi inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” kata Guntur membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 103/PUU-XXIII/2025 di Jakarta, Rabu (30/7).

Baca juga: Ssttt.. Kompolnas Turun ke Muara Kate Kaltim!

Baca juga: Tragedi Muara Kate: Mengapa Kompolnas-Komnas HAM Perlu Turun Tangan

Menurut Mahkamah, inkonstitusional dapat dimaknai sebagai kondisi ketika terdapat norma undang-undang yang bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945. Kompolnas sebagai suatu nama lembaga sulit untuk dikatakan memiliki persinggungan dengan kondisi inkonstitusional atau konstitusional.

“Dengan kata lain, inkonstitusional atau tidaknya suatu lembaga tidak dapat diukur dari semata-mata tidak maksimalnya lembaga dimaksud dalam menjalankan tugas dan/atau kewenangannya,” ucap Guntur.

MK mengatakan keberadaan lembaga belum dapat dinilai konstitusional atau inkonstitusional jika tidak dikaitkan dengan beberapa faktor, yaitu posisi lembaga dalam struktur sistem kenegaraan, sifat lembaga, fungsi atau tugas, prosedur yang dimiliki, serta ketentuan-ketentuan lainnya.

MK, tutur Guntur, tidak mendapatkan uraian yang lebih detail mengenai keberadaan Kompolnas terkait dengan faktor-faktor dimaksud.

“Oleh karena itu, dengan fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan pembentukan suatu lembaga tertentu dan relevansinya sejauh mana diperlukan atau tidaknya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang,” ujarnya.

Baca juga: Flexing Anak Kapolda Kalsel, Kompolnas Turun Tangan

Baca juga: Kontroversi Positif Narkoba Polisi Cuma Dihukum Salat: Polda Belum Final, Kompolnas Rehab

Perkara ini dimohonkan oleh advokat Syamsul Jahidin, ibu rumah tangga bernama Ernawati yang menduga kakaknya dibunuh aparat, dan karyawan swasta bernama Cindy Allyssa yang mengaku aduannya tidak ditindaklanjuti dengan profesional oleh Kompolnas.

Mereka menguji konstitusionalitas Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Ketiganya meminta agar Pasal 37 ayat (2) yang berisi aturan pembentukan Kompolnas dicabut keberlakuannya.

Menurut para pemohon, pasal yang berbunyi “Kompolnas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan keputusan Presiden” itu memiliki kekaburan atau ketidakjelasan norma. Namun, menurut MK, rumusan norma pasal tersebut telah jelas dan terang.

“Mahkamah dapat dengan mudah memahami makna Pasal 37 ayat (2) UU 2/2002 dan tidak menemukan adanya hal-hal lain yang dapat mengakibatkan makna tidak jelas dan tidak dapat dipahami sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon,” jelasnya.

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *