apakabar.co.id, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan main pilkada. Partai politik boleh mengusung calon tanpa harus memiliki kursi di parlemen. Lalu bagaimana dengan skenario kotak kosong, seperti halnya di Banjarbaru?
Pilkada Banjarbaru terancam hanya diikuti calon tunggal. Sembilan partai pemilik kursi parlemen bulat mendukung bakal calon wali kota Banjarbaru, Lisa Halaby yang menggandeng Wartono. Melampaui syarat minimal 20 persen jumlah kursi parlemen.
Petahana Aditya Mufti Ariffin hanya bisa gigit jari. Aditya cuma mendapat dukungan dari PPP, partai yang ia pimpin sendiri. Capaian kursi PPP hanya 3. Jauh dari cukup mengusung calon sendiri.
Namun hari ini, MK mengeluarkan empat amar putusan yang mengubah Pasal 40 (1) UU Pilkada. Salah satunya, di kabupaten atau kota dengan daftar pemilih tetap sampai dengan 250 ribu, partai politik hanya perlu memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen.
DPRD Banjarbaru memiliki 30 wakil rakyat. 10 persen atau tiga kursi di antaranya adalah milik partai berlambang Kakbah. Kalaupun masih kurang, PPP bisa menambalnya dari partai-partai non-parlemen.
“Secara hitungan awam saja, maka bisa saja PPP mengusulkan calon sendiri,” ujar Ahli Hukum Tata Negara Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Fikri Hadin dihubungi apakabar.co.id, Selasa (20/8) siang.
Adanya putusan ini, kata Fikri, KPU tentu harus melakukan penyesuaian aturan main. “Putusan MK sebelumnya menjadi preseden,” jelas Fikri.
Pasal 7 ayat 2 UU Pilkada, kata Fikri, adalah norma yang sudah sangat jelas. Tidak perlu lagi diperdebatkan. Selain bahwa syarat itu adalah ketentuan komulatif, “Secara hukum administrasi adalah bentuk perlindungan hukum bagi calon yang memenuhi akan syarat komulatif tersebut,” jelasnya.
Pakar hukum kepemiluan, Hairansyah turut mengamini. “[Petahana mencalonkan] bisa jika memenuhi ketentuan putusan MK dimaksud,” ujar anggota KPU Kalsel tiga periode ini.
Adanya putusan hari ini, sudah tentu ketentuan lama tak berlaku. Yaitu syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara.
Tapi yang lebih penting menurut Ancah, sapaan karibnya, adalah sikap dari KPU RI.
“Yang perlu jadi perhatian adalah sikap KPU RI untuk menindaklanjuti putusan tersebut dengan mengubah PKPU-nya diperlukan juga konsultasi dengan DPR RI. Walau putusan MK bersifat final dan mengikat,” jelasnya.
Lantas apakah putusan MK hari ini belum pasti berlaku pada Pilkada serentak 2024 mendatang? Ancah bilang otomatis.
Namun secara proses bisa saja ada hambatan politis. Tapi berkaca dari kasus Pilpres di mana Gibran diterima pendaftarannya oleh KPU tanpa mengubah PKPU terlebih dahulu, bisa menjadi preseden hukum.
“Bahwa putusan MK yang ada serta merta bisa digunakan,” ujar mantan komisoner Komnas HAM ini.
Putusan MK berupa threshold. Acuannya sebaran jumlah suara. Implikasi putusan ini, di DKI Jakarta misalnya, bagi PDIP yang tidak bisa mengusung calon karena hanya punya 15 kursi atau kurang dari 20 persen kursi parlemen.
Tapi dengan putusan MK ini, maka PDIP bisa mengusung calon. PDIP memiliki 800-an ribu suara.
Jumlah pemilih tetap Jakarta berkisar 6-12 juta. Sesuai putusan MK, maka hanya mensyaratkan 7,5 persen perolehan suara.
Artinya kendatipun PDIP tidak memenuhi threshold 20 persen jumlah kursi DPRD, persentase suaranya mencukupi.
Pakar hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah memuji putusan MK kali ini. “Ini putusan yang progresif,” jelasnya.
Baginya, putusan ini memberikan ruang demokrasi terbangun kembali setelah masifnya skenario kotak kosong.
“Saya pikir ini adalah hal yang memberikan dampak pada demokrasi kita,” ujar Castro, sapaan karibnya.
Putusan MK 60 membuka peluang besar perubahan konstelasi peta politik pada pilkada. DPD PDIP Kalsel, misalnya.
“Untuk itu kami PDI Perjuangan di Kalsel me-review kembali dan memetakan ulang kandidasi pilkada di Kalsel,” jelas Sekretaris DPD PDIP Kalsel, Berry Nahdian Furqon.
Kendati begitu, Berry memastikan PDIP tidak akan mengutak-atik koalisi yang sudah terbentuk.
“Namun bagi yang belum tentu kami akan kalkulasi ulang. Terutama di beberapa daerah seperti di Balangan,” jelasnya.
MK memutuskan pasal 40 ayat (1) UU No.10/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UU, inkonstitusional bersyarat.
Pasal yang digugat oleh pemohon ke MK itu berbunyi bahwa partai politik atau gabungan partai yang bisa mencalonkan pasangan kepala daerah di Pilkada dipersyaratkan harus memenuhi persyaratan. Yakni perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum DPRD yang bersangkutan.
Dalam amar putusan yang dibacakan hari ini, MK menyatakan permohonan provisi pemohon pada perkara No.60/PUU-XXII/2024 itu ditolak. Namun MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon.
“Menyatakan pasal 40 ayat 1 UU No.10/2016 tentang Perubahan Kedua atas IU No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UU, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2016 No.130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5898 bertentangan dengan UU Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua MK Suhartoyo, Selasa (20/8).
Sebelumnya, MK menggelar sidang perdana pengujian materiil UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) Kamis lalu (11/7).
Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. Para pemohon mendalilkan hak partai politik untuk dipilih dan memilih sebagai pejabat pemerintahan.
Berikut amar putusan MK yang mengubah pasal 40 (1) UU Pilkada:
Untuk mencalonkan gubernur:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.
Untuk mencalonkan bupati/wali kota:
A. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut.
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu jiwa), partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di kabupaten/kota tersebut;
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilihan tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta jiwa), partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di kabupaten/kota tersebut.
@kabarinlah Lisa Halaby rebut PKB dari Ovie. Skenario kotak kosong? Selengkapnya hanya di apakabar.co.id #pilkada2024 #pilkadakalsel #apakabar #lisahalaby #pilwalibanjarbaru #banjarbaru #adityamuftiariffin #tiktokviral #videoviral #fyp #xyzbca ♬ suara asli – Kabarin lah!