Pejabat 'Flexing' Dinilai Lupa Kepekaan Sosial
News  

Pejabat ‘Flexing’ Dinilai Lupa Kepekaan Sosial

Ilustrasi - Massa mengeluarkan barang milik anggota DPR Ahmad Sahroni dari dalam rumahnya di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (30/8/2025). Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTAPsikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra menilai fenomena pejabat yang kerap pamer harta secara berlebihan atau flexing dinilai tidak mengalami kepekaan sosial.

Kondisi tersebut membuat pejabat semakin lupa mencari kebermaknaan yang lebih dalam pencapaian tertinggi yang semestinya bukan dalam materi, melainkan sisi spiritualitas yaitu melayani masyarakat yang terpinggirkan.

“Dampak perilaku itu bagi diri mereka sendiri menyebabkan kecanduan jika dilakukan terus menerus dan lupa dengan kepekaan sosial,” kata Novi seperti dilansir Antara, dikutip Selasa (2/9).

Baca juga: Konfederasi Serikat Buruh Nilai Aksi Massa Disusupi Penumpang Gelap

Fenomena sejumlah pejabat yang kerap memamerkan materinya, bisa jadi bentuk mereka dalam menunjukkan eksistensi dirinya.

“Ada penelitian yang menemukan bahwa manusia yang senang berbelanja dan menunjukkan kekayaannya adalah salah satu cara memunculkan rasa senang dan kepuasan,” tutur dia.

Manusia untuk dapat bahagia membutuhkan empat hormon kebahagiaan yaitu dopamin (pencapaian/pengakuan), oksitosin (rasa cinta/penerimaan), serotonin (kebermaknaan) dan endorphin (kegembiraan).

Dalam hal tersebut ada manusia yang dapat mencari cara menjadi bahagia dengan keseimbangan antara capaian, penerimaan, kebermaknaan dan kegembiraan.

Baca juga: DPR Usul PPN Diturunkan untuk Ringankan Beban Rakyat

Novi menilai bahwa fenomena pejabat yang memamerkan materinya menunjukkan adanya kecenderungan berfokus pada dopamin.

“Ada yang taunya hanya mengejar capaian dan pengakuan saja (dopamin). Nah pejabat yang memamerkan materinya merasa bahwa itu adalah capaiannya yang patut dibanggakan,” jelas dia.

Novi menambahkan menjadi pejabat atau pemimpin sebaiknya menyikapi diri dengan memiliki kapasitas intelektual tinggi. Sehingga dalam berperilaku, pejabat didasarkan oleh nalar etika yang dibangun di prefrontal cortex-nya, bukan nafsu atau emosi yang dibangun oleh limbik system.

“Untuk membangun nalar etika dibutuhkan kompetensi belajar terus menerus, keberpikiran tingkat tinggi sehingga sebelum berperilaku tertentu mereka mampu berpikir dampak bagi masyarakatnya,” jelasnya.

13 kali dilihat, 14 kunjungan hari ini
Editor: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *