NEWS

Pencemaran Muara Badak: PHSS Diminta Bertanggung Jawab, tapi Hasil Lab Belum Keluar, KLH Jawab Kritik

Ratusan nelayan kerang darah di Muara Badak, Kukar, menggelar demo di depan kantor PHSS, 18 Juni 2025 lalu. Foto: Dok. Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak
Ratusan nelayan kerang darah di Muara Badak, Kukar, menggelar demo di depan kantor PHSS, 18 Juni 2025 lalu. Foto: Dok. Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak
apakabar.co.id, JAKARTA - Sepuluh bulan berlalu sejak laut Muara Badak tercemar, tapi kepastian hukum belum juga muncul. Di tengah nasib nelayan yang kehilangan penghidupan, Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) tetap yakin operasinya sesuai kaidah lingkungan, sementara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memastikan telah menempuh upaya ilmiah dan prosedural. 

Alih-alih ada kepastian, sampai hari ini hasil laboratorium belum dirilis KLH. Alur birokrasi penanganan perkara antara Polda Kaltim dan Polres Bontang juga dinilai berpotensi melipatgandakan penundaan.
Pusat Advokasi Kalimantan Timur (Pusaka), lembaga bantuan hukum yang mengadvokasi para nelayan, menilai lambatnya penanganan ini mengabaikan hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin Pasal 28H UUD 1945.

Semakin hari, sebut mereka, dampak pencemaran telah nyata dirasakan ratusan keluarga petambak kerang dara dengan kehilangan mata pencaharian, ekosistem pesisir yang rusak, dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum berpotensi menipis.

Ketua Pusaka Kaltim, M. Taufik, menyoroti dua hambatan utama yang membuat kasus ini mandek. Pertama, menurutnya, adalah dugaan penahanan hasil laboratorium oleh KLH. Padahal, uji laboratorium independen dari Universitas Mulawarman (Unmul) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), kata dia, telah menunjukkan indikasi kuat adanya pencemaran.
“Namun hasil resmi dari Gakkum KLH, yang seharusnya menjadi alat bukti utama pidana, justru tak kunjung dirilis. Keheningan ini memicu spekulasi dan melumpuhkan proses hukum,” ujarnya.

Hambatan kedua, menurutnya adalah birokrasi internal kepolisian. Berdasar SP2HP Ditreskrimsus Polda Kaltim Nomor B/134/VIII/RES.5.5/2025/Krimsus tertanggal 27 Agustus 2025, penanganan perkara yang dimulai sejak Juni 2025 kini harus melalui gelar perkara bersama Polres Bontang.

Alasannya, ada laporan serupa yang sudah ditangani Polres Bontang sejak Desember 2024. Menurut Taufik, alasan itu berisiko memperpanjang kebuntuan. “Jangan sampai koordinasi internal dijadikan justifikasi baru untuk menunda penyidikan. Para nelayan sudah terlalu lama menunggu,” tegasnya.

Pusaka juga menekankan pentingnya prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang diperkuat UU Cipta Kerja.


“Beban pembuktian tidak berada di pihak korban. Selama aktivitas perusahaan terbukti menimbulkan kerugian lingkungan, maka perusahaan wajib bertanggung jawab penuh atas pemulihan dan kompensasi tanpa perlu dibuktikan unsur kesalahannya,” jelas Taufik. “Ini perintah undang-undang, bukan kebijakan sukarela.”

Pusaka menuntut tiga langkah nyata pertama, Gakkum KLH segera merilis hasil laboratorium secara transparan agar proses hukum berjalan sesuai Pasal 98 dan 99 UUPPLH. Kedua, percepatan gelar perkara dengan jadwal penanganan yang terukur. Ketiga, PHSS diminta menunjukkan itikad baik dengan memulai pemulihan lingkungan dan membuka dialog ganti rugi bagi nelayan terdampak.

Seorang nelayan Muara Badak digiring aparat kepolisian usai aksi protes di sekitar area pengeboran migas PHSS, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Foto: istimewa

Kerusakan di Muara Badak telah menghancurkan sendi ekonomi masyarakat. Sebanyak 299 nelayan kehilangan sumber penghidupan setelah ribuan ton kerang dara gagal panen. Kerugian ditaksir mencapai Rp68,4 miliar, dengan lebih dari 1.000 hektare tambak terdampak. Potensi produksi yang hilang diperkirakan mencapai 3.800 ton. 

Muhammad Said, Ketua Persatuan Budidaya Kerang Dara, mengatakan seluruh anggota nelayan kini mogok total dan mencari pekerjaan lain. Ia menunggu hasil uji forensik laboratorium yang disebut masih berada di Mabes Polri.

“Katanya, hanya satu laboratorium di Indonesia yang bisa menguji parameter tersebut. Tapi sampai sekarang kami tidak mendapat kepastian. Kami merasa digantung tanpa kejelasan bantuan atau pemulihan,” katanya. Said mengaku merugi hampir Rp1 miliar dari lahan tambak seluas 7 hektare.


Sejak Januari hingga Februari 2025, ratusan warga melakukan demonstrasi. Sasarannya, areal sekitar lokasi pengeboran RIG Great Wall Drilling Company 16. Mereka menuntut kejelasan tanggung jawab PHSS. Empat warga selanjutnya diproses hukum. Dosen Pengajar Hukum di Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai langkah aparat ini keliru karena melanggar prinsip perlindungan pejuang lingkungan sebagaimana diatur dalam PermenLHK No. 1 Tahun 2021. 

Terpisah, Manager Communication Relations & CID PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI), Dony Indrawan, mengatakan perusahaan telah berkoordinasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk menangani kasus ini. Ia menegaskan seluruh kegiatan operasi dijalankan sesuai aturan lingkungan. “Pertamina juga mengimbau semua pihak menjaga kondisi kondusif demi kelancaran operasi hulu migas yang merupakan objek vital nasional,” jelasnya.  

Dony menyatakan perusahaan menghormati hak warga untuk menyampaikan aspirasi selama sesuai hukum. Ia menegaskan PHI berkewajiban menjaga keamanan dan keselamatan operasi hulu migas sebagai objek vital nasional, serta terus berkoordinasi dengan pihak berwenang.


"Perusahaan bersikap kooperatif dan mengikuti seluruh proses hukum yang berjalan demi mencari solusi terbaik sesuai peraturan," jelasnya.

KLH JAWAB KRITIK 

Deputi Bidang Penegakan Hukum KLH, Rizal Irawan, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (12/3/2025). (Foto: Dok. SMJKT/Fadlan)

Deputi Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup, Irjen Pol Rizal Irawan, menanggapi sejumlah pertanyaan publik terkait dugaan pencemaran lingkungan di Muara Badak. Rizal menegaskan hasil uji laboratorium belum dapat dirilis ke publik karena masih digunakan sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

“Hasil laboratorium bersifat rahasia dan tidak pernah dirilis selama proses hukum berlangsung. Dalam perkara perdata, hasil itu menjadi alat bukti; sementara dalam pidana, sebagai berkas pendukung,” jelasnya kepada apakabar.co.id, Rabu (8/10).

Ia juga membantah adanya penahanan hasil laboratorium karena tekanan politik atau intervensi tertentu. Menurut Rizal, dokumen hasil uji termasuk kategori rahasia sesuai aturan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Namun, informasi mengenai ada atau tidaknya pencemaran dapat disampaikan kepada pihak pengadu sesuai Permen LHK No. 22 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengelolaan Pengaduan.

Menjawab kritik soal keterlambatan penegakan hukum yang dianggap mengabaikan hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang sehat, Rizal menyebut proses penanganan kasus lingkungan memang membutuhkan pembuktian ilmiah dan waktu. 


“Proses ini melibatkan verifikasi ahli, rapat klarifikasi, dan supervisi penanganan. Saat ini, Pertamina Hulu Sanga-Sanga bersedia menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan bersama masyarakat terdampak dan pemerintah daerah,” ujarnya.

Soal penerapan prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009, Rizal menyatakan Kementerian telah menempuh langkah administratif, pidana, maupun perdata. Jika ditemukan bukti kuat terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan, kata dia, Kementerian akan mengambil tindakan tegas sesuai peraturan perundang-undangan.

Ia menambahkan masyarakat berhak menggugat secara perwakilan kelompok bila mengalami kerugian akibat pencemaran lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 91 UU yang sama. Terkait waktu pengambilan tindakan terhadap PHSS, Rizal menjelaskan, proses penegakan hukum masih berjalan.

“Kami telah melakukan verifikasi pengawasan, verifikasi sengketa bersama ahli, dan klarifikasi. Penanganannya terus ditindaklanjuti sesuai prosedur dan aturan yang berlaku,” pungkasnya. "Pak Menteri [Hanif Faisol] mengatensi kasus ini," pungkasnya.

Senada, Kapolres Bontang AKBP Widho membenarkan bahwa penyelidikan dugaan pencemaran lingkungan di Muara Badak belum bisa dilanjutkan karena masih menunggu hasil uji sampel dari Kementerian Lingkungan Hidup. “Ada tiga sampel, dari Unmul, Dinas LHK Tenggarong, dan Kementerian Lingkungan,” ujarnya.