apakabar.co.id, JAKARTA – Konservasi Indonesia (KI) menyoroti nilai ekologis, ekonomi, dan sosial, besar di Raja Ampat berdasarkan studi yang telah dilakukan dan mengapresiasi langkah pemerintah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) untuk menekan potensi kerusakan di kawasan tersebut.
“Kami menyambut baik keputusan pemerintah untuk mencabut IUP di kawasan Raja Ampat. Ini adalah langkah penting dalam memastikan bahwa kawasan dengan nilai ekologis setinggi Raja Ampat tetap terlindungi dari aktivitas yang berpotensi merusak,” kata Senior Vice President Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (11/6).
Dia menyoroti dunia sudah mengakui kelestarian kawasan Raja Ampat dengan pengukuhannya sebagai situs geopark UNESCO pada 2023. Dengan demikian setiap kebijakan yang menyangkut Raja Ampat seperlunya berpijak pada prinsip keberlanjutan dan perlindungan jangka panjang, bukan hanya kepentingan ekonomi sesaat.
Baca juga: APNI Buka Suara soal Pencabutan IUP di Raja Ampat
Dalam pernyataan serupa, Senior Ocean Program Advisor KI, Victor Nikijuluw menyebut bahwa studi pada 2017 oleh Konservasi KI bersama Universitas Pattimura (Unpatti) dan Universitas Papua (Unipa) menunjukkan Raja Ampat mampu menampung hingga 21.000 wisatawan per tahun tanpa merusak lingkungan.
Dia mencontohkan secara sederhana jika satu wisatawan asing menghabiskan sekitar 1.000 dolar AS selama satu pekan kunjungannya di Raja Ampat untuk biaya sewa homestay, konsumsi, hingga transportasi, maka setiap 1.000 wisatawan akan berkontribusi sekitar 1 juta dolar AS ke ekonomi lokal.
“Angka tersebut belum termasuk efek dari perputaran transaksi selama kunjungan turis tersebut. Kami mengestimasikan untuk trickle-down and multiplier effects sektor wisata Raja Ampat ini bisa mencapai 31,5 juta dolar AS, sehingga total value wisata keseluruhan sangat mungkin untuk mencapai 52,5 juta dolar AS,” jelasnya.
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Evaluasi Penerbitan Izin Tambang
Baca juga: Izin Tak Dicabut, DPR Minta GAG Raja Ampat Diawasi Ketat
Victor menerangkan bila aktivitas tambang nikel diteruskan di kawasan Raja Ampat akan berpotensi mengancam ekonomi lokal masyarakat dan pemerintah daerah. Kerugian ekonomi tersebut dapat berlangsung hingga puluhan tahun ke depan.
Dia juga mengestimasikan kehancuran ekonomi jika ekosistem bawah laut Raja Ampat rusak akibat spillover sisa atau sampah serta dari hilir mudik transportasi pertambangan di perairan tersebut. Victor menilai fisheries externality yang merupakan dampak perikanan sangat bisa menjadi ancaman besar.
Dalam salah satu studi, pihaknya mendapati sebaran larva dispersal atau larva ikan yang bertelur di perairan dekat pertambangan dapat terbawa ke kawasan lain, yang kemudian mempengaruhi sebaran ikan di wilayah tersebut.
Termasuk jika kerusakan ekosistem laut di perairan Raja Ampat terjadi, maka jumlah ikan tuna dan cakalang pun akan menurun di perairan Indonesia, khususnya di Laut Banda dan Teluk Tomini. Padahal ikan tuna dan cakalang yang melintasi Raja Ampat bermigrasi hingga ke Samudera Hindia, Samudera Pasifik.
Baca juga: Aspebindo Dukung Pencabutan 4 IUP Tambang Nikel di Raja Ampat
Tak berhenti sampai di situ, hal lain yang termasuk fisheries externality yakni terkait migrasi dari ikan-ikan yang disebut dengan spesies karismatik seperti jenis-jenis hiu, manta, hingga penyu.
Dari sekitar 30 jenis mamalia laut yang melintasi perairan Indonesia, 15 diantaranya melalui dan mendiami perairan Raja Ampat. Konservasi Indonesia meyakini spesies-spesies tersebut diprediksi tidak akan lagi menjadikan Raja Ampat sebagai rumah atau jalur migrasi mereka jika terjadi pencemaran.
“Artinya, efek pencemaran perairan Raja Ampat sangat dapat berdampak luas tidak hanya ke spesies di bawah laut, namun juga masyarakat di Gorontalo, Bitung, Ambon, hingga perairan Arafura, Maluku Tenggara,” jelasnya.