apakabar.co.id, JAKARTA – Langit biru memantul di permukaan Sungai Mahakam ketika perjalanan dari Samarinda menuju Sangasanga dimulai. Kini, jarak 32 kilometer itu bisa ditempuh kurang dari satu jam.
Namun, delapan dekade lalu, jalur ini mungkin hanyalah jalan berlumpur yang dilalui para pejuang dengan nyawa sebagai taruhannya.
Memasuki gerbang Sangasanga, aura sejarah langsung terasa. Di sinilah berdiri Museum Perjuangan Merah Putih, yang menyimpan kisah heroik rakyat melawan penjajah di tanah kaya minyak ini.
Diorama, foto, dan benda-benda bersejarah menjadi penutur bisu perjuangan, termasuk sehelai bendera Merah Putih lusuh yang dulunya robekan dari bendera Belanda—pusaka dari Peristiwa Merah Putih Sangasanga.
Di halaman museum, sebuah patung pejuang berdiri gagah, mengacungkan senjata sambil mengibarkan Merah Putih. Pada dinding tugu di bawahnya terukir nama 73 pahlawan yang gugur melawan Belanda. Setiap nama adalah penanda pengorbanan, memastikan kisah mereka tak terkubur waktu.
Api Perlawanan dari Ladang Minyak
Sejak Belanda dan kemudian Jepang menguasai tambang minyak Sangasanga, rakyat hidup di bawah penindasan. Banyak di antaranya adalah romusha dari Jawa. Penindasan itu memicu lahirnya organisasi rahasia Ksatria pada 1943, yang menjadi wadah persaudaraan dan perlawanan.
Setelah Proklamasi 1945, Ksatria berubah menjadi Badan Penolong Perantau Djawa (BPPD). Di bawah pengawasan Sekutu yang longgar, BPPD berhasil mengibarkan Merah Putih untuk pertama kalinya pada 26 Oktober 1945. Namun, NICA (Belanda) segera mengambil alih dan menangkap para tokohnya pada 31 Desember 1945, termasuk Soedirin, Kastaman Hadiwidjoyo, dan Soekasmo.
Perjuangan tak berhenti. Para sisa pejuang membentuk Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI), dipimpin R. Soekasmo. Dengan dukungan eks-KNIL yang pro-kemerdekaan, mereka merencanakan perebutan Sangasanga.
Puncaknya terjadi pada 27 Januari 1947. Serangan mendadak ke tangsi Belanda dipimpin Budiono—mantan KNIL yang membelot. Gudang senjata berhasil direbut, dan keesokan harinya Merah Putih berkibar di jantung kota minyak.
Selama empat hari, rakyat merasakan kemerdekaan penuh, sebelum Belanda menyerbu balik dari Balikpapan pada 30 Januari. Pertempuran tak seimbang itu berakhir dengan gugurnya banyak pejuang dan penangkapan Budiono, yang dieksekusi mati 17 Maret 1947.
Walau singkat, peristiwa ini menjadi simbol patriotisme besar di Kalimantan Timur. Belanda akhirnya angkat kaki pada awal 1950 setelah pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar.
Dari Kampung Nelayan ke Kota Minyak
Sejarah Sangasanga bermula jauh sebelum ladang minyak ditemukan. Dalam naskah Salasilah Kutai Kertanegara abad ke-13, namanya sudah disebut sebagai kampung nelayan penghasil ikan, kopra, dan rempah.
Semuanya berubah pada 1888, ketika insinyur Belanda J.H. Menten menemukan potensi minyak. Pada 20 Februari 1897, sumur Mathilde memuntahkan minyak untuk pertama kalinya—tanggal yang kini dianggap sebagai hari lahir kota ini.
Sejak dikelola Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) pada 1907, Sangasanga berkembang pesat. Rumah bergaya Eropa, pasar, sekolah, rumah sakit, hingga pembangkit listrik dibangun.
Ratusan sumur minyak beroperasi, memproduksi puluhan ribu ton minyak mentah tiap bulan, menarik pendatang dari berbagai daerah.
Penjara di Tepi Sungai dan Tugu Pembantaian
Di tepi Sungai Sangasanga, bangunan tua bergaya Europeeschen-Indische Stijl berdiri kokoh: Penjara Sangasanga. Dibangun oleh Burgerlijke Openbare Werken (BOW) dengan kerja paksa, penjara ini menjadi tempat menahan pejuang selama pendudukan Jepang dan masa perlawanan.
Namun, balasan Belanda pada 1947 adalah salah satu bab tergelap sejarah kota ini. Di Tugu Pembantaian, kisah pahit terukir.
Sri, saksi hidup, mengingat ketika pamannya, Njono, diikat, digiring hampir empat kilometer, lalu dieksekusi. “Kita lagi makan-makan, goreng singkong, minum teh,” kenangnya.
Kini dikenal sebagai Tugu Pembantaian Sangasanga. Namanya kini terukir di antara 73 pahlawan gugur.
Sangasanga mungkin tak setenar Surabaya atau Yogyakarta dalam kisah kemerdekaan, tapi di tanah minyak ini, darah dan nyawa dipertaruhkan demi Merah Putih. Dan di setiap sudutnya, sejarah itu masih berdenyut.